Transportasi dan Transformasi Budaya

Boleh jadi, masalah kebangsaan kita -termasuk transportasi- adalah masalah "human being". Ego untuk mendapat hal-hal "material" untuk diri kita sendiri.

PLN, DBL, dan Pasar Atom

Dahlan sukses di PLN karena kendali komunikasi, DBL besar (salah satunya) karena JP, Atom menang bersaing karena (salah satunya) media internal.

Rindu, Keju, dan Bokong

kenapa bagian bawah punggung kita dimakan bokong? Kenapa tidak keju? Kenapa keju tidak dinamakan bokong saja? Kenapa?.

Realita Cinta, (Pipis), dan Rock n Roll

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara cinta dan kebelet pipis. Keduanya mendesak, top number 1, dan menimbulkan efek suara yang sama: Ahhh..

Cerita Berambut

Dulu, saya benci sekali potong rambut. Selalu meras lebih pede dan "dapet gaya" dengan rambut gondrong. Demi masa, begitu cepat waktu berlalu.

Monday, December 14, 2009

Tebak Nama

Hari ini, saya dan Januar dapat pelajaran penting, waktu keliling nganter undangan nikahan Sony: Kenalilah nama sahabat-sahabatmu dengan baik dan jelas

Scene 1

Nama facebook : Fay Hanani
Nama gaul : Jumbo


saya: Mbak ada undangan buat Fanani
Mbak2: Oh ya ya.. makasih
saya: Sama-sama, mbak.. mari
mbak2: mari
Satpam sebelah rumah: cari siapa, mas?
saya: Fanani, pak
Satpam sebelah rumah: Bu Nani??
saya: Fanani..
Satpam sebelah rumah: .....
saya: jumbo, pak.. jumbo...
satpam sebalah rumah: Jumbo?? ........
saya: sudah ketemu kok pak tadi. Monggo
Satpam sebelah rumah: Monggo...
Mbak2: Maaass.. masss!!
saya: euh.. iya, mbak?
Mbak2: Ini nggak salah, mas? ini Fanany siapa ya?
saya: Fay Fanani, mbak..
Mbak2: Adanya Bu Hanani..
saya: cowok, mbak. Masih muda
Mbak2: Fanany.. siapa tadi..?? Fay Fanani?
saya: iya... nggg... jumbo, mbak.... jumbo...
Mbak2: Jumbo???
Januar: Yang baru nikah itu kemarin di Sidoarjo itu lo, mbak..
Mbak: Ooohhh... Hanany....
Saya (dalam hati): what ever lah! Hanani kek fanani kek.. pokok'e Jumbo.. sing guede iku arek'e..
saya dan Januar: Iyaaa... iya iya betul mbak.. Hanany..
Mbak2: makasih, mas
saya dan januar: sama-sama mbak

Scene 2

Nama Facebook: Tsunami Joshua
Nama Gaul: Josh

Saya: Josh nya ada pak?
Bapak2: Josh??
saya: Iya, pak.. josh
Bapak2: josh siapa, ya?
Saya: joshua, pak..
Bapak2: Joshua??
saya: ini bener Manyar Indah XII AC-1, Pak
Bapak2: iya betul
saya: nggak ada yang namanya Joshua?
Bapak2: nggak ada
saya: oh ya udah pak.. maaf
Bapak2: oh iya

Di perjalanan motor
saya: boss.. jenenge josh iku sopo yo asline
januar: Embuh, pak.. aku gak eruh. jeneng facebook e opo?
saya: tsunami joshua
januar: sopo yo..
saya : mosok nang omah diceluk tsunami???

Saat makan soto, di suapan kedua
saya: naaaaahhhhh... jenenge josh iku Affannn!!!!!

seharusnya, kejadian seperti ini tak boleh terulang, karena saya pernah mengalami kejadian cukup memorable, belasan tahun lalu, saat saya masih SMP

saya: Assalamu'alaikum..
Ibu2: Wa'alaikumsalam...
saya: Kamsir nya ada, bu?
Ibu2: Kamsir?
saya: iya
Ibu2: Mas siapa, ya?
saya: saya temennya, bu?
Ibu2: Pak Kamsirnya lagi kerja
saya: Kerja???
Ibu2: temennya agung, ya?
Saya: *DEGGGGG... oh iya Agung, bu..
Ibu2: agungnya lagi keluar
saya: oh iya makasih.. *NGACIRRR
KEESOKAN HARI
Agung: kon sing wingi nang omahku nyeluk aku nggawe jeneng bapakku, yo??!
saya: Duduk.. aku lo wingi les.

*Ditulis dengan penuh rasa cinta dan sayang pada suluruh sahabat
Sebelum saya akhiri, ijinkan saya memperkenalkan diri
Nama Lengkap: Diaz Miftachul Arifin
Nama panggilan umum: Diaz
Nama inisial penulis: Daz (karena cuma diijinin 3 huruf dan biar keren)
Nama panggilan rumah: Ipin (karena nama belakang saya Arifin, jadi Ipin)
Nama panggilan SMA: Pablo (Tokoh telenovela berkacamata)
Nama panggilan kuliah: tikus (Tinggi Kurus)
Terima Kasih sudah mau jadi sahabat saya, teman...

Friday, October 02, 2009

Big Match: Setan vs Malaikat Kebaikan


Pagi ini saya awali dengan rasa malu. Malu karena saya merasa tak menjadi warga negara yang baik karena tak ikut dalam usaha untuk mempertahankan harga diri bangsa dan melestarikan salah satu kebudayaan nusantara yang tak ternilai harganya: batik. Semua orang sibuk dengan hari batik, sementara saya tetap cuek dengan jaket dengan tulisan besar dan menonjol, "Converse".

Tapi ego berhasil memutarbalikkan pola pikir. Setan berhasil memukul mundur malaikat kebaikan yang bersemayam di otak saya. Hasilnya, sebuah sikap skeptis yang berusaha menyembunyikan ketidakpedulian saya dengan menyalahkan orang lain: "Halah, orang Indonesia!! Kalau udah kaya gini aja, semuanya pada pakai batik!!! Selama ini kemana aja?!!"

Bagus!! Sebuah pembelaan diri yang bagus! Padahal saya tahu betul bahwa saya adalah juga bagian dari orang Indonesia yang saya olok-olok pada kutipan di atas. Saya adalah termasuk orang yang selama ini tak pernah peduli dengan karya agung dan budaya bangsa bernama batik.

Malaikat baik berhasil melakukan perlawanan. Saya goblok-goblokkan diri saya sendiri. Saya tertawakan pola pikir yang saya punyai. Mau jadi apa bangsa ini kalau kita sudah tak peduli dengan bangsa kita sendiri dan kemudian diperparah dengan bersikap skeptis ketika ada usaha untuk memperbaiki kesalahan itu. Sikap skeptis sama berbahayanya dengan ketidakpedulian itu sendiri!

Malaikat baik tampaknya tak hanya berhasil melakukan perlawanan, tapi kini telah memukul K.O. setan yang ada di diri saya. Tapi dengan sisa-sisa tenaganya, setan terus melakukan berbagai upaya pembalasan. Ketika saya membuka playlist, kursor langsung saya arahkan pada folder "Avenged Sevenfold". Sepintas, mata saya menangkap folder "keroncong", "dangdut", dan "Campursari" koleksi bapak saya.

Setan: "Keroncong??? dangdut??? Apa jadinya kalau teman-teman kamu tahu ada koleksi musik ini di playlist komputer kamu??! Gitu ko ngakunya rocker!!"
malaikat: "Dengerin dulu aja, yaz. Baru putuskan."

Saya lalu memutuskan untuk mendengar beberapa lagu dangdut dan keroncong. Dan... saya menikmatinya!! Dengan sangattt!!!!

malaikat: Tuh, kan! jangan denger setan!
setan: Ah, degradasi selera musik kamu, yaz!!!

Setan dan malaikat terus berdebat. Saya suka mendengar mereka berdua bertengkar. Tapi saya harus sholat Jumat. Saya akan buka lemari saya. Adakah baju batik yang bisa saya pakai untuk sholat jumat?

Tuesday, June 30, 2009

La Tahzan, Om...

Berapa perkiraan umur yang bakal kita jalani? 50 tahun? 60 tahun? 70? 80? 100??

Berapa umur kita sekarang? 20 tahun? 25 tahun? 30? 40?

Sungguh waktu bergulir begitu cepatnya.
sungguh badan yang sehat ini akan rapuh pada waktunya.
Sungguh organ-organ tubuh ini akan berhenti bekerja sebagaimana mestinya
Sungguh kita akan berhenti bernafas.

Sungguh... obat yang paling mujarab di dunia ini adalah keyakinan bahwa akan ada hidup setelah ini. Tak ada alasan untuk bersedih. karena hidup adalah perjalanan menuju hidup sebenarnya. Hidup yang tak akan mati.
La Tahzan. om... La Tahzan...

*lamunan di pinggir ranjang om, di zaal rumah sakit yang penuh dengan organ tubuh yang tak berfungsi

Saturday, May 30, 2009

Rindu, Keju, dan Bokong


Kenapa bagian menonjol di bawah punggung kita dinamakan "bokong"? kenapa tidak dinamakaaannn..eee... "keju"?? Lalu kenapa juga keju dinamakan "keju"? kenapa nggak dinamakan "bokong"? Jadi kalo kita pesen burger bisa bilang, "Hamburger satu, mas. bokongnya dobel". Kenapa? Siapa yang memberi nama?

Banyak hal di dunia ini yang nggak saya mengerti. Termasuk kenapa saat ini saya merindukannya. Kenapa? Kenapa saya merindukannya?

Ternyata cinta juga sama rumitnya dengan persoalan bokong.

* Anyway, kenapa rindu dinamakan "rindu"? kenapa tidak "bokong"? Jadi saya bisa mengatakan padanya: "Sayang, aku membokongimu..." Ah, ternyata makin banyak hal di dunia ini yang nggak saya mengerti.

Monday, May 11, 2009

Satpam dan Penyakit Hati

Bagi sebuah perusahaan jasa, service adalah segalanya. Nggak cuma soal teknis, soal non teknis yang mungkin dianggap superduper sepele juga sangat berpengaruh terhadap citra perusahaan.

PT. Temprina Media Grafika (Jawa Pos Group) adalah salah satu perusahaan ternama di bidang percetakan. Dan saya tak habis pikir kenapa perusahaan sekelas ini tak memikirkan kenyamanan customernya.

Bicara soal teknis seperti hasil cetak, saya hampir tak pernah mengalami masalah. Tapi, saya justru sangat terganggu dengan orang-orang "tidak berkepentingan" atau "tingkat kepentingannya nggak seberapa".

Temprina mengharuskan setiap tamu yang datang dengan membawa motor untuk mematikan mesin, turun, dan menuntun motor saat melewati pos satpam. Awalnya saya merasa sedikit aneh dengan peraturan nggak lazim dan cuma dilakukan ketika kita datang ke tempat-tempat berbau militer. Tapi pikir saya, ya udah lah. Ngak perlu capek-capek mikirin kebijakan yang nggak jelas seperti ini. Sampai beberapa hari lalu, saya datang lagi ke temprina dan lupa turun plus menuntun motor ketika melewati pos satpam.

Saya cuma mematikan mesin dan mengganti tenaga mesin dengan kaki saya (tanpa turun dari motor) agar roda tetap berputar. Semua saya lakukan tanpa maksud sengaja. Mengalir begitu saja. Setelah memarkir motor, saya kembali ke pos satpam untuk lapor dan meninggalkan ID card.

Satpam : mau ketemu siapa?
Saya : Ketemu pak Dadang
Satpam : Sudah sering ke sini?
Saya : Setiap bulan, pak
Satpam : Tahu kalau lewat depan pos satpam harus turun?
Saya : Tahu pak
Satpam : Lalu tadi kenapa nggak turun?
Saya : euh.. oh saya tadi nggak turun, ya? Perasaan udah, tapi mesinnya tadi udah saya matikan, kan?
Satpam : Tetep aja mas harus turun dan dituntun!
Saya : Iya, saya lupa
Satpam : Kalau cuma mesinnya dimatikan, itu namanya nggak dituntun.. Mas yang pakai Grand hijau, kan?
Saya : Aduh.. udahlah pak! jadi saya mesti gimana? Saya harus bawa motor saya keluar lagi lalu masuk dan dituntun, atau saya harus push up? bayar denda? minta maaf? atau gimana? Waktu saya nggak banyak, saya harus ngecek proof dari temprina sebelum dicetak siang ini. Saya cetak enam sampai sepuluh ribu majalah setiap bulan. jangan sampai kerjasama saya sama Temprina rusak gara-gara kaya beginian!
Satpam : Ya udah, lain kali turun, mas!

Maksud saya, apa sih sebenernya esensi dari peraturan "harus turun?" yang diterapkan perusahaan? apa untuk memaksimalkan security checking? Apa ya tidak cukup dengan meninggalkan KTP / ID card lain di pos satpam?

Ribet banget saya harus matikan mesin, turun, menuntun motor, lalu lapor ke pos satpam dan meninggalkan identitas. Lalu melakukan ritual yang sama ketika pulang. Apalagi kalau sedang terburu-buru seperti saat itu. Turun dan menuntun motor sama sekali nggak penting, bukan?!

Apa perusahaan jasa sekelas Temprina tak pernah berpikir bahwa saya adalah customer yang harus dimanjakan karena ikut andil "memberi makan" pada karyawan perusahaan termasuk satpam-satpam itu? lho harusnya, kalau perlu mereka yang datang menghampiri saya, menuntun motor saya dan meminta ID card saya dengan manis sembari menawarkan minuman selamat datang! Bukankah begitu prinsip sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa?

Terdengar gila hormat? Halah iya dong! Harusnya memang gitu! Gila hormat mana sama nyuruh-nyuruh customer turun dan menginterogasi saya seperti maling coba?! Atau misalnya kalau mereka menegur saya dengan manis, "Pak, maaf, lain kali mungkin bisa dituntun motornya. Sekali lagi maaf atas ketidaknyamanan ini, sudah prosedur perusahaan.", mungkin saya akan lebih bisa menerima dan tak menganggapnya sebagai masalah. Sudah untung saya dateng, harusnya mereka yang menyerahkan proof ke kantor untuk saya tandatangani!

Yang juga bikin saya sebel, sepertinya yang datang pakai motor itu dianggap customer kelas dua atau cuma kurir yang nganter file. Sebab, saya nggak melihat orang-orang yang datang dengan mobil melakukan ritual yang sama dengan saya. Oke lah saya bukan yang punya duit. Tapi saya tetap utusan resmi perusahaan dan saya punya cukup power untuk bilang ke atasan untuk tidak menyetak majalah di Temprina, lho! Kepikir nggak sih sama mereka??!

Selesai urusan di kantor temprina, saya kembali ke tempat parkir. Motor tak saya nyalakan, helm dan penutup muka tak saya kenakan. Saya tuntun motor perlahan dengan penuh rasa hormat di depan pos satpam. "Begini?? sudah benarkah cara saya?? puasss???" batin saya dalam hati. Saya parkir motor beberapa meter setelah melewati pos dan bergegas mengambil ID card. Dan coba tebak, ID card saya dikembalikan dengan sedikit melempar! See??? betapa rendah pelayanan mereka terhadap customer!! Saya jelas nggak sudi mengucapkan terima kasih. thx for what??!!! Kalian yang harus berterima kasih karena perusahaan saya sudah ikut andil membesarkan Temprina!

Saya mau lapor ke marketing Temprina yang biasa menangani perusahaan saya..., males! belum tentu mereka menganggap ini penting. Saya cuma mau cerita sama direktur Temprina atau siapalah yang punya power untuk mengubah kebijakan. Tapi tentu saja bertemu mereka nggak mudah dan saya tentu dihadapkan dengan birokrasi yang justru berpotensi menambah kekesalan. Dan belum tentu dianggap penting!!

Suebel.., saya cerita ke silvi di rumahnya

Saya : Blablablabla
Silvi : halah gitu aja kok dipikirin, penyakit hati tuh. Orang yang dipikirin juga udah lupa
Saya : Hhhh... yayayaya.. (tetep mangkel!)




Perhatian! Bukan satpam sebenarnya. Yang ini punya senyuman maut dan manis serta penuh kharisma.. hahhah!

Friday, May 08, 2009

Menuju Musik yang Beradab


Yovie Widianto kembali menarik pelatuk pro kontra wajah musik Indonesia masa kini lewat pernyataannya, saat menerima penghargaan sebagai Produser Rekaman Terbaik dalam ajang AMI Award 2009, April lalu. Tapi, yang “ditembak” kini merasa sudah saatnya bicara “menang-kalah”. Dianggap tak berkualitas atau plagiat, mereka telah punya peluru lainnya untuk menyerang: fakta penjualan!


Warisan orde baru memang memberikan angin segar pada setiap aspek kehidupan di negeri ini. Termasuk kebebasan berekspresi dan mengapresiasi musik. Yang menarik, kini elit musik lebih terlihat seperti sedang berkampanye menjelang pemilu. Yang satu mengaku membawa perbaikan menuju industri musik Indonesia yang lebih berkualitas, yang satu mengklaim bahwa merekalah yang dipilih oleh rakyat musik Indonesia, yang dibuktikan lewat jumlah rekapitulasi perhitungan penjualan album.

Soal seni adalah soal hati. Soal selera. Dan tak ada yang bisa memaksakannya. Bahwa selera itu bisa dibentuk, itu benar adanya. Tapi jika harus membunuh bentuk ekspresi bermusik, bagaimana pun kualitas musik tersebut, tak bijak juga rasanya. Karena apresiasi terhadap bentuk seni, termasuk musik, sangat subjektif dan tak ada batasan riilnya.

Peran media memang berdampak sangat besar terhadap pembentukan kualitas musik Indonesia. Penjualan album Kangen Band yang menyentuh 153 ribu kopi dan ring back tone (RBT) yang konon mencapai 1 juta, atau D’Massive yang juga menuai sukses massive, tentu tak akan terjadi tanpa dukungan media. Duto Sulistiadi, General Manager Production SCTV yang melahirkan program musik seperti Inbox dan Hura-Hura, dalam wawancara yang dimuat Rollingstone jelas-jelas menyebutkan bahwa ia tak peduli dengan kualitas. Menurutnya, semakin banyak pelaku, pebisnis, dan label rekaman, semakin bagus. Tak begitu jelas maksudnya. Bagus untuknya, atau untuk Musik Indonesia.

Kemudahan mengakses media juga menjadi hal krusial untuk membentuk selera musik yang “beradab” seperti yang dimaksudkan Yovie, David Naif, atau banyak musisi berkualitas lain yang pernah secara terang-terangan menghujat Kangen Band atau band lain yang dianggap merusak kualitas musik Indonesia.

Sayangnya, belum ada data yang pernah dirilis, apakah penggemar musik tak berkualitas adalah orang-orang yang “kurang beruntung” karena tak mendapat akses media yang mumpuni untuk bisa mempunyai banyak referensi musik, yang menjadikannya “beradab” secara musikal. Tapi yang pasti, penjualan album dan RBT dalam jumlah mencengangkan, seperti Kangen Band, tentu juga terjadi di kota-kota besar dimana akses media begitu mudahnya. Dan jika sudah begitu adanya, tentu memang itulah yang dinamakan pilihan atau selera.

Label rekaman juga merupakan aktor penting dalam lakon Industri musik Indonesia. Kapasitasnya juga bisa menjadikannya sutradara yang punya hak untuk mengatur skenario. Tapi tentu saja, seperti halnya dengan media, label rekaman punya kepentingan mereka sendiri yang tak dapat dinafikan.

Masa depan Industri Musik Indonesia bergantung pada kedewasaan para pelakunya. Tak hanya dewasa dalam bermusik dan menghasilkan seni yang berkualitas, tapi juga kedewasaan untuk membiarkan masyarakat musik untuk menentukan sendiri apa yang diinginkannya, tanpa merasa ditekan oleh pelaku musik dan dalam posisi was-was dituduh ikut andil merusak kualitas musik Indonesia atau punya selera musik yang dangkal. Yang juga perlu menjadi catatan, beberapa fakta membuktikan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang sangat mudah bersimpati terhadap orang-orang yang “tertindas”. Meledaknya album dari beberapa band yang banyak dihujat mungkin juga merupakan sumbangsih dari orang-orang yang bersimpati tersebut. Apalagi grup-grup vokal atau penyanyi-penyanyi solo yang minim kualitas juga banyak berkeliaran dan tak mendapat hujatan yang setimpal karena albumnya tak meledak.

Memang tak ada yang ideal. Tapi alangkah indahnya kalau kita membiarkan proses bergulir dan mempersilahkan masyarakat untuk tumbuh dewasa secara alamiah. Musisi berkarya dengan sebaik-baiknya tanpa mengurangi kebebasan berekspresinya, label rekaman memilih merilis album dengan tanggung jawab, dan media menjalankan tugas sesuai dengan porsinya untuk menginformasikan sebanyak-banyaknya (apa pun kualitasnya). Lalu biarkan masyarakat yang menentukan sendiri seleranya.

Friday, April 17, 2009

Ngomong, doonngg.. ngomoonngg!!

"Salah satu prinsip public relation mengatakan, jika ada masalah, segeralah membuat pernyataan sejujur-jujurnya, atau minimal, segeralah membuat suatu pernyataan. Dengan begitu tidak sempat muncul spekulasi-spekulasi dan kesan negatif di masyarakat."

Hal itu pernah dikatakan bos saya beberapa tahun lalu, ketika saya tidak berhasil mendapatkan statement Ariel Peterpan ketika kasus Sarah Amalia mencuat. Saat itu, Santer berhembus kabar bahwa Ariel telah menghamili pacarnya, Sarah Amalia.

Ketika kasus itu sedang hangat-hangatnya, Ariel dan band nya sedang melakukan tur keliling di beberapa kota di Jawa Timur, dan saya yang saat itu tugas di desk hiburan, ketiban sampur mengejar Ariel. Tiga kota saya datangi untuk membuka mulut Ariel soal kebenaran berita itu. Tapi hasilnya nihil. Ariel sama sekali tak mau ditemui, padahal saya dan banyak kuli tinta lainnya beberapa hari dlosoran di lobi hotel, menunggu Ariel mau menemui kami.

Saya pulang. Dan sehari setelahnya, saya dapat kabar bahwa Ariel terkena demam berdarah di sela tur jatim nya dan dibawa ke HCOS Surabaya. Saya bukan kerabat atau teman Ariel, tapi situasi itu membuat saya 3 hari berturu-turut bertahan di rumah sakit untuk menanti perkembangan. Target berita nambah, selain soal sakitnya, statement soal Sarah Amalia juga tetap jadi hal krusial.

Kantor tak mau tahu, saya harus dapat foto Ariel di rumah sakit. Lhah gimana?! orang lorong rumah sakit aja udah dijagain lima satpam! nggak boleh ada yang masuk, kecuali keluarga pasien yang ada di RS itu. Saya sudah mengerahkan segala akal, termasuk beli jeruk satu kilo dan pura-pura besuk pasien di sebelah kamar Ariel yang saya akui saudara saya. Dan berikut percakapan saya dengan para satpam :

satpam 1 : Mau kemana, mas?
saya : Mau jenguk saudara saya, pak. Kamar 403
Satpam 2 : Siapa nama pasiennya?
saya : Rudi, pak. (asall!)
satpam 1: ini bawa apa
saya : jeruk
satpam 3 : bukan yang ini. Yang itu.
Saya : oh ini..
Satpam 2 : Kamera ya.. udah mas. Nggak bisa. Nanti kita yang disalahkan. mohon ngerti lah.
Satpam 1 : lagian tampangnya udah kelihatan
saya : (*&^@(*&$Q^%$@%^$#@^%$

Habis semua akal licik, saya akhirnya menelpon salah satu panitia penyelenggara tur Peterpan. "Mas, tolong lah mas, daripada Arielnya kasihan digangguin temen-temen terus.. Masnya tolong bawain kamera saya masuk deh. Tolong difotokan. Tapi yang banyak, mau saya bagi sama teman-teman lainnya." Berhasil!!! saya akhirnya dapat foto Ariel dengan selang infus masih menempel di tangannya.

Tapi saya dan teman-teman masih bertahan di RS dan berharap bisa mendapat statement dari Ariel ketika ia keluar dari RS. Tpai kami kecewa karena ternyata Ariel diam-diam dilarikan dari pintu belakang RS. Ia akhirnya menikah diam-diam dengan Sarah Amalia di Sidoarjo.

Inti dari cerita di atas sebenarnya tentang pentingnya memberikan statement. Saya mencatat beberapa kasus dan mengambil kesimpulan: Barang siapa yang tidak segera memberikan statement atas kasus, hampir pasti memang apa yang dibicarakan di masyarakat memang benar. Banyak lah contohnya. Ariel yang menghamili Sarah Amalia, Rhoma Irama yang nikah siri dengan Angel Lelga, dan beberapa kasus lainnya.

--------------------

Nah, saya jadi inget dengan prinsip public relation ini ketika melihat pidato presiden SBY tadi malam yang menanggapi kekisruhan pemilu berkaitan dengan kasus kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Sebagai orang yang awam politik, saya mengangkat topi pada presiden SBY yang dengan gentlemen memberikan statementnya atas tudingan ketidaknetralan KPU dan campur tangan pemerintah terhadap pemilu 2009. Dengan teknik pidato yang baik (tanpa teks), presiden mengakui kesalahan yang ada pada pemilu kali ini sekaligus tidak akan lepas tanggung jawab, meski penyelenggaraan pemilu adalah murni tanggung jawab KPU sebagai lembaga yang independen dan mandiri.

Whatever lah, saya nggak terlalu ngerti politik, tapi bagi saya pidato tersebut telah memberikan nilai plus bagi SBY. Gaya bicaranya begitu elegan dan "ngayemno ati", dan saya memang eneg ngelihat pimpinan-pimpinan umat di negeri ini bicara dengan gaya bahasa yang tidak elegan dan membuat panas telinga dan tidak menentramkan rakyat dan bahkan terdengar mengadu domba. Coba lihat mega ketika mengkritik BLT atau statement-statement Gus Dus dalam menanggapi sesuatu.. koyok wong ape tawuran!! Kalo elit-elitnya bergaya tak santun seperti ini, ya jangan salahin rakyat dong kalo bawa minyak gas dan korek api setiap kali nangkep maling?!!

Saya nggak nyontreng demokrat, saya nggak nyontreng PDI atau PKB atau gerindra (Pengikut Gus Dur ini sekarang harus nyontreng PKB atau gerindra, sih?? hehe). Tapi yang jelas, saya akan memilih presiden yang "ngayemno ati". nggak membuat situasi negara jadi panas dan bikin rakyat bingung, saling berprasangka, dan terbakar amarah dengan statement-statementnya yang emosional. Soal perbaikan ekonomi? ahh.. kok ya samua sama aja, sembako murah lah, apa lah.. tapi yang jelas, sekarang ada BOS yang bikin saudara-saudara kita bisa sekolah gratis. Pensiunan bapak ibu saya juga naik terus katanya.. hah, embohlah. Semoga kita diberi pemimpin yang amanah dan bisa "ngayemno ati". Amiiiinnnn :)

Sunday, March 22, 2009

Bawakan Aku Surat Cinta


Kami duduk di bangku paling pojok cafe itu. Saya sibuk telepon, Sony sibuk SMS, Slash sibuk mesbuk. Kami sibuk dengan para wanita yang tak ada di hadapan kami. Puluhan orang yang ada di tempat itu sepertinya juga melakukan hal yang sama. Sibuk dengan gadget nya.

Bosan, saya matikan telepon, lalu tertawa. Bukan karena wanita, tapi teknologi yang menggila.

Masih begitu melekat di ingatan saya tentang uang recehan yang begitu berharga di jaman SMA. saya mengumpulkan begitu banyak uang pecahan 100 atau 200 untuk kemudian membawanya ke telepon umum untuk menelponnya. Teknologi telepon rumah memang sudah ada, tapi itu tak bisa memenuhi kebutuhan privasi saya untuk berkata-kata mesra dengannya. Sekali pergi ke telepon umum, saya bisa menghabiskan 15-20 keping uang 100-an.

Saya juga pernah sangat iri dengan seorang kakak kelas yang menggantungkan pager di sela ikat pinggangnya. "Ah, pager itu... Pasti tak perlu punya banyak uang receh untuk bisa lebih banyak merayunya," pikir saya waktu itu.

Masih lekat juga di memori saya ketika Sony meminta saya menemaninya untuk memberikan surat cinta pada gadis pujaannya, sepulang sekolah. saya ingat betul warna merah di muka Sony ketika berujar, "Tik, ini surat buat kamu." lalu kabur, berlari sekencang-kencangnya meninggalkan rasa malu yang masih tertempel di surat itu.

Saya juga tertawa ketika mengingat wajah panih Eko a.k.a Slinting, sahabat saya lainnya, ketika menemaninya menunggu tukang pos datang mengambil surat di bis surat pinggir jalan. Sebelumnya, ia telah memasukkan sebuah surat untuk wanita yang diincarnya. Tapi belakangan, ia berniat membatalkan. "Gak sido, gak sido... Aku isinn. Yo opo ikkiii??" Tak ada cara lain kecuali menunggu tukang pos datang ke bis surat tersebut. Hahahahahah....

Belum sempat beli pager, kami telah menikmati teknologi komunikasi nirkabel: handphone. Belum sempat bengkak jempol kami SMS an, kami harus cepat-cepat bergaul dengan teknologi lainnya: internet.

Saya masih ingat betapa bego muka saya ketika baru saja bekerja di sebuah perusahaan dan sang supervisor mengharuskan semua kru nya memiliki email dan bergabung di milis perusahaan. Masih terasa juga betapa ribetnya kerja saya ketika kamera kantor masih menggunakan negative film. Saya harus meminta 2-3 rol film di petugas cetak yang wajahnya jutek, setiap akan liputan. Lalu setelahnya, mencetaknya di studio kantor. ahh.., paniknya saya ketika ternyata semua foto tak bagus hasilnya. Angle nya nggak bagus atau rol filmnya tak berputar secara sempurna. Tenaga masih harus dikeluarkan karena foto itu harus di scan untuk dimasukkan komputer. Setahun kemudian... studio cetak foto ditutup.. welcome digital camera!! Seisi kantor sumringah! terutama fotografernya...

Kini.., internet merajalela. Dan itu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap dunia percintaan. Begitu mudah menumbuhkan dan mengekspresikan rasa cinta lewat teknologi ini. Seorang teman kerja, berkenalan dengan pacarnya lewat friendster. Teman saya di Surabaya, pacarnya di Jakarta, dan memutuskan kopi darat di Jogja. Kini mereka menikah dan kini sudah punya satu anak. Saya membayangkan anaknya diberi nama Netty Wifirda. Artinya anak dari hasil hubungan internet dengan koneksi wifi, hihi.

Friendster hancur, kini facebook bikin mabuk. Kita bisa tahu dia sedang apa, apa saja yang dilakukannya, kenal teman-temannya, atau memberikan gift supaya sok2an romantis. Semua juga bisa dilakukan di mana saja, termasuk di cafe ini. Dengan laptop atau handphone. Handphone? kini juga ada blackberry yang bikin saya sebel sama lottie, temen kantor, karena sibuk mesbuk atau YM an bahkan ketika kami jalan ke kamar mandi.

Demi masa, begitu cepat jaman berganti. Dan saya merasa beruntung menjadi saksi atas semua ini dan mengenang masa klasik yang asik. Apalagi setelah ini? saya akan mengirim surat lagi untuk Tuhan untuk memperpanjang usia saya agar bisa melihat dan merasakannya. Dan untuk berkomunikasi dengan Tuhan, rasanya tak perlu perubahan teknologi...

Ps : Thx untuk mbak ira yang bikinin saya email, thx buat oca yang ngenalin saya blog, dan lottie yang memaksa saya untuk bikin facebook supaya bisa ngirim gift buat menuhin boxes nya.

Saturday, February 28, 2009

....


Semoga lancar ya ndud.. Sehat ibu dan bayinya :)

Friday, February 27, 2009

Surat Cinta untuk Tuhan


Kau memang tak pernah salah
Aku memang memintanya
Dengan sangat...

Kini Kau telah memberikannya
tak kepalang.. Kau memberikan seluruhnya
Meruah..
Bahkan lebih dari yang kuminta...

Tapi kini aku kembali meminta
Dengan air mata...

Kau memang pemiliknya
Tapi jangan kembali mengambilnya
Pindahkan saja Tuhan... pindahkan..
Pindahkan ke tempat lainnya

Duhai yang Maha Membolak-balikkan Hati...
Pindahkan...

Salam sayang...,
Manusia yang banyak maunya.

Tuesday, February 17, 2009

Rindu Malam


Apa yang lebih indah dari sore? Tak ada. Tapi kuning keemasan yang ia pandangi dan tanah basah yang ia pijaki, tak membuat hati Bintang berhenti memikirkan keindahan lainnya: Malam.

Kini ia memang lebih mencintai malam. Karena malam selalu ditemani bulan, dan bulan selalu seiring dengan bintang. Meski terkadang keduanya tertutup awan.

Sudah setengah jam Bintang duduk di teras rumahnya yang asri dan penuh tanaman hasil tangan dingin ibunya, tapi tak ada hal lain yang ada dalam pikirannnya kecuali bulan. Ia ingin sekali melihat bulan yang berselimut awan senja. Melihat alam raya berubah dari merah ke hitam. Perlahan, dari detik ke detik. Itu saja.

Ia jambaki rambut ikal miliknya, pelan. Tak tahu harus berbuat apalagi selain itu. Bintang merasa Tuhan terlalu lama mengabulkan impiannya sore itu untuk melihat bulan.

Bulan.. oh, bulan.. tak tahukah kau sedang ditunggu bintang? Tuhan, tolong berikan ia malam. Itu saja.

Saturday, January 31, 2009

Malam Minggu Jahanam


Perjaka 1 :
Malem minggu, rek....

Perjaka 2 :
Ademm... mari udan. Uenak howone yo jeh...

Perjaka 3 :
Lagi nyekel duit pisan, mari bayaran...

Tetangga Penguping -yang tak terlihat wujudnya-:
TAPI GAK DUWE BOJO KABEH... PERRCCUMMAAA!!!!

Perjaka 1,2,3 :
JJANNNCCOOOKKKK!!!!

Perjaka 1,2,3 & Tetangga Penguping -yang datang menghampiri-:
BWAHHAHAHAHHHHAHAHAHAHAHAHHHAHAH!!! Mari kita rayakan malam ini, teman!!! Huahahahahah

*Apa yang terjadi berikutnya? Hoho... tunggu cerita berikutnya :)

Saturday, January 24, 2009

Cerita Berambut


Saya banyak berpikir beberapa waktu belakangan ini. Situasi apa pun yang ada di hadapan saya, selalu menjadi bahan yang merangsang otak saya untuk berpikir. Bahkan terkadang untuk hal-hal yang tak penting sekalipun.

Kemarin, saya baru saja potong rambut lagi, setelah saya merasa rambut saya mulai membentuk sarang burung di atas pohon a.k.a susuan manuk, hakakak.

Nah, proses bepikir ini bermula saat mas-mas tukang potong langganan (saya biasa potong di tukang pangkas rambut emperan, jadi jangan bayangkan "mas-mas" yang "mbak-mbak" seperti di banyak salon itu :p) menanyakan potongan rambut yang saya inginkan. Dan seperti biasa, karena saya bukan tipikal pria modis dan up date terhadap tren, apalagi tren rambut, saya menjawab dengan jawaban andalan: "Rapi aja, mas!"



Saya kemudian mulai berpikir, emang model rambut yang bagus atau sedang tren sekarang seperti apa, ya? yang seperti kangen band? yang seperti Ariel peterpan? Ah.. saya malas memikirkannya. Yang menarik bagi saya justru ketika saya ingat bahwa saya dulu benci sekali pergi potong rambut. Saya selalu merasa pede dan lebih merasa lebih "dapet gaya" dengan rambut gondrong. Ah ya! saya selalu merasa lebih keren kalo berambut panjang, hakakakak...



Tapi yang juga menarik, tiba-tiba saja saya merasa tua. Aah.., ternyata banyak waktu yang sudah saya lalui. Masa gondrong itu telah lewat, masa ber-head banger di atas panggung itu telah lewat.. (saya juga jadi merindukan masa-masa nge-gig itu).

Lalu, sore ini, saya membuka-buka file foto saya lagi. Dan saya baru ingat kalau masa kecil saya juga gondrong. Kata bapak saya, biar nggak gampang masuk angin... hakakak. Nah, inilah saya dalam tiga masa yang berbeda... foto pertama ketika saya berumur 3 tahunan, foto kedua saat saya kuliah dan baru kerja, dan foto terakhir diambil satu minggu yang lalu, sebelum saya potong rambut. Ahh.. demi masa... begitu cepat waktu berlalu...

Thursday, January 22, 2009

Realita Cinta, (Pipis), dan Rock and Roll


Kemarin, saya menyadari sebuah hal penting bahwa tak ada perbedaan yang signifikan antara jatuh cinta dengan kebelet pipis.

Pipis, bagi saya kemarin, adalah hal mendesak, urgent, top number 1, gawat darurat, dan tidak bisa ditukar dengan apapun di dunia ini. Yang ada di otak saya waktu itu hanya satu: bagaimana menemukan tempat untuk pipis, karena toilet di tempat saya kerja sudah tutup satu jam sebelumnya (saya lembur dan pulang malem). Semua energi dan pikiran fokus untuk satu tujuan. Tak ada lainnya... benar-benar tak ada lainnya karena begitu kebeletnya.

Padahal setelah saya mendapatkan solusi dan berhasil menemukan tempat untuk pipis, ya gitu-gitu aja rasanya. Hanya beberapa detik saja kenikmatannya...

Saya lalu meluangkan sedikit waktu untuk berpikir tentang pipis. Ahh.., tidak. Andai saya tidak pipis.. pasti perut saya sakit, pasti saya ngompol dan pakaian saya kotor dan najis, pasti dalam jangka waktu panjang saya akan terkena kencing batu atau penyakit apapun yang disebabkan saya menahan kencing. Jadi pasti tak sia-sia saya memusatkan pikiran dan energi untuk pipis ini..

Lalu apa bedanya dengan jatuh cinta? Saat saya jatuh cinta.. dia adalah hal mendesak, urgent, top number 1, berdarah-darah hanya untuk bertemu, duduk di sebelahnya, dan sekadar memandang wajahnya serta menatap mata indahnya. Semua malam-malam saya habis untuk bertemu dengannya dalam SMS, telpon, dan lamunan. Dia adalah yang utama, bahkan mengalahkan Sang Pencipta cinta. Semua energi dan pikiran terpusat untuknya.

Padahal akhirnya, saya tahu bahwa ia tak menyambut cinta saya, hakakakaka. Tapi saya kemudian juga meluangkan waktu untuk berpikir. Kalau saya tak menyatakan rasa suka, pasti makin sakit rasanya, pasti makin banyak malam-malam saya yang habis untuknya, pasti ia tak tahu bahwa saya begitu menyayanginya. Jadi tak sia-sia juga saya menghabiskan waktu, energi dan pikiran untuk cinta ini...


Jadi, tak ada perbedaan signifikan dari cinta dan kebelet pipis, kan? Keduanya juga membuat kita mendesah dengan suara yang sama: Aaahhhh....

Bukankah Tuhan kita Maha Besar karena telah menciptakan rasa cinta dan kebelet pipis?

*anyway, saya mengundang Anda untuk membantu saya menemukan perbedaan atau persamaan cinta dan kebelet pipis :p

Friday, January 09, 2009

Are You Ready?


Hidup, acapkali menggiring saya hingga sangat akrab dengan perpisahan dan rasa kehilangan.

Hidup, juga seringkali menyudutkan dan mengharuskan saya memilih. Dan di posisi itu, terkadang mati terdengar lebih indah daripada memilih.

Perpisahan, kehilangan, dan pilihan... itulah hidup! Dan saya siap untuk hidup!!

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites