Transportasi dan Transformasi Budaya

Boleh jadi, masalah kebangsaan kita -termasuk transportasi- adalah masalah "human being". Ego untuk mendapat hal-hal "material" untuk diri kita sendiri.

PLN, DBL, dan Pasar Atom

Dahlan sukses di PLN karena kendali komunikasi, DBL besar (salah satunya) karena JP, Atom menang bersaing karena (salah satunya) media internal.

Rindu, Keju, dan Bokong

kenapa bagian bawah punggung kita dimakan bokong? Kenapa tidak keju? Kenapa keju tidak dinamakan bokong saja? Kenapa?.

Realita Cinta, (Pipis), dan Rock n Roll

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara cinta dan kebelet pipis. Keduanya mendesak, top number 1, dan menimbulkan efek suara yang sama: Ahhh..

Cerita Berambut

Dulu, saya benci sekali potong rambut. Selalu meras lebih pede dan "dapet gaya" dengan rambut gondrong. Demi masa, begitu cepat waktu berlalu.

Sunday, September 19, 2010

Transportasi dan Transformasi Budaya



Kiranya, masih jelas terekam di memori kita betapa alat komunikasi tercanggih di sekitar tahun 80’an adalah jaringan telepon fix cable, itu pun tak semua orang punya. Bagi sebagian kaum muda, “telepon rumah” tak mampu mengakomodir kebutuhan private convertation mereka. Solusinya: mengumpulkan banyak uang receh, dan pergi ke telepon umum. Risikonya: Dimarahi orang yang antri karena telepon terlalu lama.

Mau instant message? Pakai pager! Belum sempat booming, teknologi telepon nirkabel melenyapkan pager seperti tak pernah ada. Belum sempat bengkak jari ber SMS-an, semua harus cepat-cepat bergaul dengan internet yang membuat dunia seperti ada di genggaman. Semua bisa. Mulai dari sekadar mengirim dokumen, sampai urusan tetek bengek seperti cari jodoh.

Tak cukup nyaman hanya bisa diakses lewat personal computer (PC) atau notebook, internet hadir melalui telepon selular. Kini, semua bisa berselancar di dunia maya sambil meeting, sambil makan,atau sambil –maaf- buang air besar.

Tak perlu lagi langganan koran, baca saja versi online nya. Paperless dan ikut melestarikan hutan karena jumlah pohon yang dipotong dan dijadikan kertas jadi menurun. Tak perlu pasang iklan mahal, karena puluhan situs menyiapkan tempat iklan gratis dengan efektifitas yang bahkan mengalahkan iklan di media konvensional. Tak perlu kirim berkas, email saja. Tak perlu SMS, YM-an saja. Tak perlu telepon, Skype saja.

Suka tak suka, mau tak mau, perkembangan teknologi memang berpengaruh pada kehidupan kita. Yang tak punya mentalitas cair –seperti yang ditulis Presdir Globalteleshop, Bapak Djamiko Wadoyo di Kontan Weekend- pun kadang-kadang juga dipaksa cair. Kalau perlu dipanaskan, biar cair. Bagaimana tidak? Kelulusan atau pendaftaran sekolah saja sekarang diumumkan lewat website sekolah. Jadi meski tak bermental cair, orang tua sedikit banyak harus tahu internet, kecuali mau anaknya tak sekolah.

Perlahan tapi pasti, percepatan teknologi ini menggiring kita pada budaya serba instan, cepat, dan tak merepotkan. Sedikit demi sedikit, kebutuhan akan barang berteknologi tinggi menggiring mindset kita untuk hanya menggunakan parameter material guna menilai banyak hal. Yang baik adalah yang mahal. Yang bagus adalah yang berteknologi tinggi. Yang enak adalah yang cepat dan tak merepotkan. Dan itu masuk ke semua sendi kehidupan. Telekomunikasi, pendidikan, transportasi, hiburan, makanan, semua… semua.

Coba, apa hal yang langsung terlintas di pikiran kita jika harus mendefinisikan kemakmuran? BlackBerry Onyx? Mercy S Class? Apartemen? Liburan keliling dunia? Nasabah prioritas bank terkemuka? Atau minum kopi di Starbucks? Tak apa kalau itu memang yang terlintas di benak kita, karena memang itu yang menjejali pikiran kita setiap hari.

Lalu, coba lagi, image apa yang terlintas ketika kita harus menyebutkan parameter kemiskinan atau kekurangan? Makan seadanya? Rumah kontrakan? Jobless? Handphone jelek dan tak berwarna? Atau…, sepeda!

Kok sepeda? Ya, karena yang bersepeda adalah office boy, buruh pabrik, kuli, pedagang sayur, dan tenaga kasar lainnya. Pendapatan yang minim dan tak memungkinkan untuk membeli sepeda motor –apalagi mobil-, membuat saudara-saudara kita itu terpaksa naik sepeda ke tempat kerja.

CEO atau jajaran direksi naik sepeda ke kantor? Yang benar saja! Tak mungkin, unreasonable. Pernahkah kita melihat tempat parkir sepeda direktur? Tidak. Yang ada hanya aspal atau papan yang bertulis plat nomor mobil direktur.

Sebenarnya General Manager, Walikota, artis dan lainnya juga naik sepeda, tapi kalau ada perlunya. Memperingati hari tertentu, launching produk lalu mengadakan sepeda gembira, atau dalam rangka kampanye jelang Pemilukada.

Tidak bisa disalahkan juga. Ini masalah budaya. Budaya kita adalah budaya kesetaraan, budaya kepantasan. Bangsawan pantasnya menikah dengan priyayi. Aneh, saru, dan tak setara rasanya jika bangsawan menikah dengan pembantu. Suatu saat sang pembantu naik derajat, ya mantan pembantu itu tak akan menikahi orang yang derajatnya lebih rendah darinya.

CEO, General manager, bupati, walikota, artis, manager, ya pantasnya naik mobil. Staf administrasi, pegawai biasa, pedagang kelas menengah ya cocoknya naik motor. Buruh pabrik, kuli, office boy, PRT, ya cukup naik sepeda atau bemo saja lah. Ya memang begitu pakem nya, itu budaya nya.

Seperti halnya barang-barang mewah lainnya, alat transportasi juga menjadi tolok ukur kemapanan dan parameter status sosial. Jadi kadang-kadang malah lucu kalau banyak orang teriak-teriak –apalagi yang kaya- meminta pemerintah daerah atau pemerintah kota untuk menyediakan fasilitas transportasi umum yang baik. Karena, hal itu jadi terdengar seperti ini: Alat transportasi harus dibuat sebagus mungkin, infrastuktrurnya harus sesempurna mungkin, supaya orang miskin bisa menggunakan alat transportasi umum dengan nyaman, dan mengurangi kemacetan. Supaya yang kaya tetap boleh melenggang dengan nyaman di dalam mobil-mobil pribadinya. Suatu saat yang kaya jatuh miskin dan si Miskin mendadak kaya…, ya gantian lah…! Karena yang kaya “tak boleh” naik angkutan umum, berdesakan dengan “orang umum”. Orang kaya pantasnya naik mobil. Ya memang begitu pakem nya, itu budaya nya.

Tak percaya? Mari kita ambil contoh Kereta Komuter Surabaya-Sidoarjo saja sebagai sebuah contoh kecilnya. Pertama kali diluncurkan, kereta ini diharapkan akan berperan besar dalam mengurai kemacetan di banyak jalan protokol di Surabaya. Terutama Jalan A. Yani, salah satu nenek moyang jalan macet di Surabaya.

Dengan Kereta Komuter, orang Sidoarjo yang bekerja atau kuliah di Surabaya, harusnya bisa sampai di Surabaya dalam waktu sekitar 30 menit. Bandingkan dengan perjalanan dengan mobil atau sepeda motor pribadi yang mungkin akan memakan waktu dua atau tiga kali lipatnya pada jam-jam macet, saat banyak orang berangkat dan pulang kerja. Tapi apakah kemudian banyak orang beralih menggunakan kereta Komuter untuk berangkat kerja? Tak perlu dijawab dulu.

Mari lebih spesifik. Mungkin, ada puluhan, atau bahkan ratusan warga Sidoarjo yang kuliah dan atau berprofesi sebagai dosen di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Unair, bisa ditempuh dengan jalan kaki dari Stasiun Gubeng Surabaya. Kurang lebih 10 menit ke Kampus A (Fakultas Kedokteran), atau sekitar 15 menit ke Kampus B.

Jalan pedestrian dari Stasiun Gubeng ke Unair, telah dibangun dengan apik. Pejalan kaki bisa berjalan dengan nyaman di trotoar dengan banyak pohon rindang. Tanahnya telah dipaving. Luasnya cukup untuk empat orang yang jalan berjejer. PKL nya sudah digusur semua, dipindahkan dan diberi tempat khusus di antara dua lapangan di Jalan Dharmawangsa. Beres sudah tugas Pemkot Surabaya. Tak mau berjalan di bawah matahari sedang bersinar terik? Setidaknya ada tiga bemo yang siap mengantar. Cuma butuh 30 detik untuk sampai ke Kampus A. 1,5 menit kalau terhadang lampu merah.

Ditilik dari kasus ini, tak ada yang salah dari infrastruktur yang disiapkan pemerintah kota. Semua tersedia. Bahkan bukan cuma tersedia, bagus pula. Tapi kenapa mahasiswa atau dosen Unair yang tinggal di Sidoarjo tak mau menggunakan Kereta Komuter untuk datang ke kampus? Boleh jadi masalah budaya itu lah jawabnya. Dan percayalah, ada mahasiswa-mahasiswa atau dosen kaya dari Sidoarjo yang lebih suka menggunakan mobil mereka daripada naik Kereta Komuter.

Alih-alih banyak yang beralih naik Kereta Komuter, Unair malah menjadi “sasaran empuk” Secure Parking, perusahaan outsourcing di bidang perparkiran. Tentu karena banyak yang menggunakan kendaraan pribadi. Coba kalau lebih banyak yang naik sepeda, kereta, atau angkutan umum lainnya, tentu Secure Parking tak membidik Unair sebagai target pemasarannya.

Yang jadi masalah lagi, dalam perjalanannya, karena tak banyak “orang kaya” Sidoarjo yang menggunakan Kereta komuter, kesannya kereta ini seperti diperuntukkan untuk kalangan bawah. Dan akhirnya, perawatan infrastrukturnya pun jadi sedikit tak terjaga. Kalau yang naik rakyat biasa, perawatannya ya biasa saja lah. Ya memang begitu pakem nya. Begitu budaya nya.

Selain Kereta Komuter, Surabaya beberapa waktu lalu marak dengan wacana pembangunan jalur khusus sepeda. Setidaknya ada dua calon walikota yang “tiba-tiba” berjanji membangun “jalur sehat itu”. Hal itu dicetuskan dalam acara sepeda gembira, yang tentu saja saat itu banyak orang bersepeda.

Ini adalah hal yang bagus. Tak ada yang menilainya buruk. Tapi pertanyaannya, jika jalur khusus sepeda itu sudah terealisasi, maukah kita memarkir sepeda motor atau mobil kita di rumah, dan kemudian mengemudikan sepeda untuk pergi ke kantor kita atau cari restoran saat akan lunch? Jangan-jangan malah dimanfaatkan oleh PKL untuk membuka lapaknya, atau jadi parkir liar karena sepeda yang lewat ya tetap milik buruh pabrik, kuli, atau pedagang sayur yang berangkat kerja. Lebih celaka lagi kalau pembangunan jalur khusus sepeda itu memakan sebagian jalan umum. Bukan mengatasi kemacetan, malah berpotensi memperparah.

Sepanjang dan semulus apapun jalan khusus sepeda yang dibangun pemerintah kota, tak akan berarti apa-apa jika kita tak merubah mindset kita, karena semua orang tetap akan memilih menggunakan mobil pribadinya, dengan segala fasilitasnya: Dingin, nyaman, bisa ber-BBM an pula. Dan yang paling penting, budaya kepantasan tetap terjaga.

Masalah transportasi bukan semata-mata masalah infrastruktur. Tapi juga masalah budaya. Dan berbicara tentang budaya, tentu ini tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah saja. Tapi juga masyarakat…, kita!

Mengatasinya masalah transportasi tidak cukup hanya dengan pembangunan jalur khusus sepeda atau penambahan jumlah angkutan umum. Jauh lebih besar dari itu, kita membutuhkan reformasi budaya dan mengembalikan alat transportasi pada esensi sejatinya. Bukan hanya sekadar menghantarkan kita ke tempat tujuan, tapi juga mempunyai fungsi sosial yang memanusiakan penggunanya.

Kalau sudah begini, yang dulu-dulu, yang tak berteknologi, yang murah jadi terdengar indahnya. Karena kalau misal nanti naik sepeda telah membudaya, akan membudaya pula sholat shubuh berjamaah dan bangun pagi –karena harus berangkat lebih pagi dibanding ketika naik mobil atau motor-, akan membudaya pula saling menyapa ketika bertemu tetangga atau kerabat saat bersepeda.

Kalau misal nanti naik angkutan umum sudah membudaya, akan tumbuh subur pula budaya-budaya positif lainnya, seperti budaya antri dan menjaga kebersihan fasilitas umum. Akan mengemuka kembali fitrah kita sebagai makhluk sosial karena kita akan banyak bertemu orang baru di angkutan umum. Akan bertambah pula rejeki kita karena kita semakin banyak link, setelah bertemu orang-orang dari banyak background usaha.

Memang ini tak mudah. Jauh dari kata gampang. Karena ini menyangkut merubah budaya. Tapi siapa bilang tak bisa? Hanya saja, setiap revolusi membutuhkan waktu yang tak sebentar, setiap reformasi selalu meminta sikap istiqomah atau konsistensi untuk mendapatkan hasil seperti yang kita inginkan. Jadi seharusnya bisa kalau kita sepakat untuk memulainya.

Memulai apa? Mulai bangun pagi, mulai sholat shubuh jamaah di masjid dekat rumah, mulai jalan-jalan sore di komplek sekitar rumah, mulai membagi rejeki dengan abang tukang becak yang mangkal di depan kompleks, mulai memberi hari libur kepada pembantu rumah di hari minggu dan pergi sendiri ke pasar terdekat, mulai mengunjungi saudara-saudara dekat yang selama ini hanya bertemu saat lebaran, mulai apa saja lah…, memulai segala sesuatu yang bisa kembali melahirkan fitrah kita sebagai makhluk sosial. Karena boleh jadi, masalah kebangsaan kita –termasuk masalah transportasi- sebenarnya adalah masalah “human being”. Ego untuk mendapatkan hal-hal yang bersifat “material” untuk diri kita sendiri.

Meminjam istilah A’A Gym, mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil, dan mulai sekarang. Menciptakan kata-kata saya sendiri, mulai dari berpikir, lalu menulis, dan kemudian melakukannya bersama-sama Anda. Karena saya tak mungkin bersepeda sendirian ke kantor, malu dan karena bersepeda belum membudaya di sekitar saya.

Tuesday, June 15, 2010

PLN, DBL, dan Pasar Atom



Begitu Dahlan Iskan terpilih jadi Direktur Utama PLN, saya percaya, haqul yaqin, bahwa PLN akan dapat mengatasi problem akut di perusahaan listrik negara itu. Kenapa? Karena Dahlan Iskan memegang kendali komunikasi. Titik.

Titik? Sebenarnya ada komanya: kemampuan teknis. Tapi saya betul-betul ingin mengatakan bahwa kendali komunikasi (ditambah kemampuan teknis) yang dimiliki Dahlan Iskan benar-benar punya “daya setrum” yang luar biasa. Dan “daya setrum” itu berasal dari genset bermerek Jawa Pos, salah satu media terbesar yang ada di Indonesia.

Apa hubungannya Jawa Pos dengan PLN? Apa korelasinya antara listrik dan media?
Salah satu masalah terberat PLN adalah krisis kepercayaan. Tak cuma dari masyarakat, tapi juga dari internal PLN sendiri. Masalah krisis listrik di negara ini menjadi puluhan kali lebih berat karena PLN bekerja di bawah sikap skeptis rakyat Indonesia dan karyawannya sendiri. Hasilnya: Menjadikan seluruh kabupaten dan provinsi di Indonesia bebas dari byar pet dianggap sama susahnya dengan membawa Timnas Indonesia masuk ke Piala Dunia. Sangat susah. Hil yang mustahal, kata Asmuni Srimulat. Kalau pun bisa, butuh waktu yang sangat lama dan bahkan hitungan dasawarsa untuk mewujudkannya.

Oleh karena itu, salah satu “pekerjaan wajib” Dirut PLN adalah “memberikan klarifikasi” kepada masyarakat dan internal PLN sendiri mengenai masalah-masalah riil yang terjadi di perusahaan listrik negara itu. Penjelasan itu menjadi penting, karena selama ini, tak ada informasi apa pun yang diterima masyarakat, kenapa Jakarta bisa blackout, kenapa krisis listrik tak kunjung bisa diatasi sehingga masih begitu banyak wilayah Indonesia yang masih mengalami pemadaman bergilir,dll. Jadi jangan salahkan rakyat kalau mereka tak percaya. Yang mereka tahu, PLN tak becus bekerja.

Dengan menulis, Dahlan sedari awal terus memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai masalah-masalah riil yang terjadi di PLN. Lewat Jawa Pos, Dahlan bisa melaporkan progress tentang apa yang ia kerjakan. Lewat media, Dahlan bisa “meminta pengertian” masyarakat untuk sedikit “lebih bersabar”. “PLN sedang bekerja keras. Beberapa daerah sudah bebas byar pet, daerah Anda sebentar lagi,” begitu kira-kira yang terus disuarakan Dahlan setiap kali ia menulis di korannya sendiri, Jawa Pos.

Kompas, 19 Mei 2010, memuat tulisan yang judulnya saja mungkin memerahkan telinga Dahlan: “Target PLN Atasi Krisis Tak Tercapai”. Enam hari setelah itu, Dahlan langsung meng-counter lewat Jawa Pos. Ia paparkan kembali progress-progress signifikan yang telah ia lakukan di PLN. Ia yakinkan masyarakat bahwa apa yang dikatakan Kompas –yang juga kompetitor Jawa Pos- tidak sepenuhnya benar. Ia berikan data-data tandingan. Ia beberkan fakta-fakta yang mungkin selama ini tidak diketahui masyarakat. Tak cukup itu, beberapa minggu setelahnya, Jawa Pos memuat satu halaman penuh peta Indonesia! Isinya daerah-daerah mana saja yang sudah bebas pemadaman bergilir dan daerah mana saja yang belum, lengkap dengan tanggal target kapan daerah tersebut akan menyusul bebas byar pet.

Hebat! Artikel-artikel Dahlan Iskan yang diterbitkan secara terus-menerus, disadari atau tidak, akan menimbulkan sikap optimis di masyarakat, karena rakyat jadi tahu dan “tersugesti” bahwa PLN telah berhasil melakukan progress signifikan dan membebaskan beberapa daerah dari krisis listrik. Di kalangan internal PLN, itu jadi tantangan yang harus dihadapi dan harus berhasil dilakukan. Lha wong sudah diumumkan di koran terbesar kapan sebuah daerah bebas byar pet, kalau tidak sesuai jadwal, bisa digebuki orang satu kabupaten!

Kalau awak redaksi Koran, sih sudah biasa dengan deadline. Mau bumi berguncang, besok pagi koran harus terbit! Tapi karyawan PLN? Bisakah internal PLN melakukan budaya itu? Harus bisa, Lha wong sudah diumumkan di Koran. Apa mau digebuki orang satu kabupaten?!

Kalau nanti terbukti bahwa PLN sanggup bangkit dan membebaskan Indonesia dari “byar-pet”, itu bukan cuma karena Dahlan Iskan menguasai masalah kelistrikan, tapi juga karena ia pandai menulis, dan ada sebuah media yang selalu “sendiko dawuh” memuat tulisannya itu dan menjadi media komunikasi PLN dengan masyarakat luas, termasuk orang-orang yang selama ini meragukan kinerja PLN dan kepemimpinannya.

***

Hal yang sama dilakukan oleh anak laki-laki satu-satunya Dahlan Iskan, Azrul Ananda, yang sekarang sedang punya “hajat besar” dengan DBL nya. Anda tahu DBL? Saya yakin hanya sedikit dari Anda yang tak tahu. Apalagi bagi Anda pecinta basket. Deteksi Basketball Leauge yang sekarang telah diganti nama menjadi Development Basketball League ini menjadi harapan baru basket nasional. Popularitasnya bahkan mengalahkan NBL (dulu IBL), liga basket profesional Indonesia.

Begitu tinggi apresiasi masyarakat terhadap DBL, kini PT DBL Indonesia, pengelola DBL, dipercaya menjadi pengelola NBL. Ini sebenarnya lucu sekaligus ironis. Lha wong liga basket anak SMA kok bisa lebih sukses dibanding liga profesional. Kedengarannya kok aneh . Saru.

Tapi itulah yang terjadi dengan DBL. Dari sekadar kompetisi basket antar SMA di Surabaya yang dibuat sebagai salah satu even Deteksi, halaman muda Jawa Pos yang digagas oleh Azrul, DBL kini menjadi raja basket Indonesia. Mengambil alih liga profesional NBL, dan bahkan bekerjasama dengan NBA, liga basket paling popular di seluruh jagad.

Bagaimana DBL bisa sesukses itu? Jawabannya –menurut saya- cuma satu: Jawa Pos.
Saya tahu saya bisa dilempar sepatu oleh beberapa teman saya di PT DBL Indonesia atas pernyataan subyektif saya itu. Saya tahu betul ada kerja superkeras dari tim PT DBL Indonesia plus otak cemerlang Azrul dalam membangun DBL hingga sepopular sekarang. Tapi saya juga yakin DBL tak akan bisa sebesar ini, atau paling tidak menjadi besar secepat ini, tanpa Jawa Pos.

Sebagai putra pewaris tahta kerajaan media, Azrul Ananda punya power luar biasa di Jawa Pos. Ia bahkan bisa memerankan berbagai peran di salah satu koran terbesar di Indonesia itu. Wakil direktur, redaktur kota, redaktur hiburan, penulis F1 dan basket, atau apa sajalah yang menarik baginya.

Dengan “sejentikan jari” ia bisa menggusur berita-berita besar –yang mungkin jadi headline di Koran seluruh Indonesia- untuk ditempatkan di halaman atau posisi lain, dan menggantinya dengan liputan DBL. Saat even DBL digelar seperti sekarang, saya dapat pastikan berita tentang DBL ada di halaman satu Jawa Pos, atau paling tidak di halaman-halaman strategis lainnya, setiap hari. Mereka yang tak suka dan tak tertarik dengan basket, mau tak mau harus tahu dan “mencicipi” hebohnya DBL persis di saat loper Koran mengantar Jawa Pos ke rumah mereka. Paling tidak, membaca judulnya yang provokatif, atau melihat fotonya yang dramatis.

Sejak pertama kali digelar tahun 2004, kini siapa yang tak kenal DBL? kalau dulu hanya melibatkan emosi peserta dan teman-teman sekolahnya, kini keluarga, saudara, tetangga, dan bahkan masyarakat luas ikut larut dalam euforia DBL. Kenapa bisa begitu? Karena selama enam tahun (setiap hari selama DBL digelar) Jawa Pos terus “mengedukasi” pembacanya yang sangat besar jumlahnya, bahwa DBL heboh, seru, dan keren.

Salahkah? Tentu saja tidak. Karena salah satu “kesaktian” media adalah membentuk opini. Lama-kelamaan, jika diopinikan secara konstan, sesuatu yang diopinikan akan benar-benar menjadi kenyataan.

Saya sedikit banyak tahu perjalanan DBL. Dua tahun pertama diselenggarakan, saya kebetulan menjadi bagian dari usaha untuk membangun DBL. Saya dan seorang teman yang sekarang menjadi dosen Unair –saat itu wartawan olahraga Jawa Pos-, adalah orang yang “ketiban sampur”, ditugasi oleh Azrul untuk menulis berita-berita DBL. Saya belajar bagaimana seorang Azrul membangun opini mengenai DBL, dengan selalu berusaha membangun citra positif DBL.

Di tahun-tahun pertama, mungkin tak begitu terasa efeknya. Tapi itu menjadi pondasi yang sangat kuat dan menentukan arah ke depan. Hasilnya: DBL kini bahkan telah menjadi perhatian NBA sekalipun.

Saya masih ingat betul bagaimana Azrul dengan disiplin superketat menuntut saya tak hanya menulis dengan baik, tapi juga membangun keterikatan emosional peserta, sekolah, keluarga, dan semua masyarakat pada DBL dengan media Jawa Pos. Begitu “menakutkannya” tugas itu, tak ada satu pun penulis yang berani menerima tugas itu. Kalau pun berani, jika masih punya pilihan, saya yakin mereka memilih untuk tidak menulis DBL, karena begitu kerasnya Azrul pada penulisnya. Sementara saya, waktu itu memang jadi “penulis langganan” Azrul. Sebab ketika itu saya ada di desk hiburan dimana azrul tercatat sebagai redakturnya. Penulis lain akan panik kalau saya sakit,atau berhalangan kerja. Saya juga panik, tapi tak ada pilihan.

Di awal DBL, saya sering (harus) menulis “Ribuan orang datang menyaksikan DBL”, tapi orang tak sadar setelah kalimat itu ada kalimat “yang menonton secara bergantian dalam tiga pertandingan”. Foto diambil dari angle yang terlihat sangat penuh. Empat lima orang suporter atraktif difoto dengan baik, ditampilkan dalam koran esok pagi, dan lusa ratusan suporter lain akan berlomba-lomba adu kreasi agar bisa masuk koran juga. Siapa yang tak bangga fotonya ada di koran sebesar Jawa Pos? kadang saya juga merasa akhirnya banyak yang over acting juga, baik pemain, penonton, atau bahkan official nya.

Siapa bilang itu bohong? Semua faktanya ada dan benar. Cuma permainan teknis media saja. Pada awal-awal DBL kesan “settingan” memang terasa, itu pun bagi orang-orang yang sensitif. Tapi lihatlah sekarang. DBL memang benar-benar heboh,seru, hebat.

Kini DBL benar-benar tersebar di seluruh nusantara. Memberangkatkan pemenangnya untuk bertanding dengan tim-tim SMA luar negeri, mendatangkan pemain-pemain NBA, dll. Sekarang, DBL benar-benar hebat.
Hari ini, yang tak tahu DBL adalah anak-anak muda yang ndeso dan orang-orang tua yang tidak mengikuti perkembangan jaman. Hebat, nggak? Hebat. Kok bisa hebat? Karena kerja superkeras tim DBL, otak cemerlang Azrul Ananda, dan Jawa Pos sebagai faktor utama (menurut saya).

***

Sebenarnya, dalam tulisan panjang ini saya hanya ingin mengatakan bahwa media punya peran yang sangat besar dalam memenangkan persaingan. Sebab, ia mampu menjadi doktrin yang akan diyakini tanpa paksaan. Sangat smooth dan melenakan.

Kita tak harus punya media sebesar Jawa Pos untuk membentuk opini dan kemudian merebut hati pasar. Yang perlu kita lakukan adalah melakukan komunikasi dengan intens dan memastikan orang-orang yang ada dalam lingkungan bisnis kita, berpikir seperti yang kita inginkan.

Komunikasi seperti apa? Iklan? Ya. Website? Bisa. SMS interaktif? Mungkin saja. Tapi siapa bilang kita tak bisa membuat “Jawa Pos” kita sendiri? Tak perlu oplah ratusan ribu. Cukup dibaca oleh orang-orang yang ada di lingkungan bisnis kita saja dan berpotensi menguntungkan kita dan lingkungan bisnis itu sendiri. Bisa karyawan, customer, atau stakeholder.

Apa bisa? Tentu saja! Tak perlu dulu seperti Unilever, yang dengan media internal nya, bisa memberikan “perlawanan”, ketika perusahaan tersebut diprotes oleh organisasi lingkungan hidup Green Peace. Ambil saja Pasar Atom sebagai contohnya.

Empat tahun lalu, ITC Mega Grosir dibangun tepat di depan Pasar Atom. Itu cukup menjadi ancaman bagi Pasar Atom yang juga baru saja membangun Pasar Atom Mall, pengembangan dari Pasar Atom lama yang bernuansa grosir tradisional.

Saat itu pula, Pasar Atom menerbitkan majalah Shopping at Pasar Atom. Apa manfaatnya? Tak akan merubah apa-apa. Tambah budgeting, malah. Begitu kira-kira pikiran banyak orang. Memang betul. Tapi itu tahun-tahun pertama. Lihatlah sekarang. ITC tak mampu menandingi “keperkasaan” Pasar Atom dan Pasar Atom Mall yang tingkat okupansinya selalu tak kurang dari 95%.

Apa itu peran majalah Shopping at Pasar Atom? Sedikit banyak, ya! Karena majalah itu mampu membentuk opini dan menciptakan keterikatan emosional antara pengunjung, tenant, dan pengelola Pasar Atom.

Ia menjadi daya pikat orang untuk lebih memilih belanja atau membuka toko di Pasar Atom dibanding di ITC. Kenapa? Karena majalah itu mengajak satu orang setiap bulannya untuk belanja gratis bareng majalah Shopping at Pasar Atom, judul rubriknya: Shopping with u! Karena ada kuis dan discount di majalah itu. Karena ada ada hadiah uang tunai setiap kali berbelanja di tenant-tenant yang memasang iklan di majalah Shopping at Pasar Atom. Karena ada profile tenant dan liputan mengenai toko-toko baru di majalah bulanan itu. Dan semuanya gratis karena majalah dibagikan cuma-Cuma dan bisa didapat di banyak tempat di surabaya. Mulai hotel, taksi, resto, lounge, gym, dll.

Yang juga menarik, majalah ini bahkan kini bersaing dalam arti sesungguhnya dengan majalah-majalah komersil lokal surabaya. Karena banyak pengiklan yang ingin masuk ke majalah ini. Bahkan redaksi seringkali menolak dengan alasan melindungi kepentingan pedagang Pasar Atom. Kini, majalah Shopping telah terbit selama empat tahun tanpa jeda.

“Ooohhh.. jualan!” begitu pasti gumam Anda. “Oohhh…. Diaz narsis. Lha wong Shopping at Pasar Atom itu kamu yang ngerjain!” Memang iya, tapi saya yakin di awal tulisan tadi telah membentuk opini, dan secara smooth telah mempengaruhi pembaca. Narsis Itu juga salah satu ilmu yang saya pelajari dari Azrul Ananda.. heheh..Selamat membentuk opini . 

Saturday, May 08, 2010

Izin Aku Mencintai-Mu Semampuku

*dikutip dari Renungan Kisah Inspiratif

Rabbii,
Aku tak sanggup mencintaiMu seperti Abu bakar, yang menyedekahkan seluruh hartanya dan hanya meninggalkan Engkau dan RasulMu bagi diri dan keluarga. Atau layaknya Umar yang menyerahkan separo harta demi jihad. Atau Utsman yang menyerahkan 1000 ekor kuda untuk syiarkan dienMu. Izinkan aku mencintaiMu, melalui seratus-dua ratus perak yang terulur pada tangan-tangan kecil di perempatan jalan, pada wanita-wanita tua yang menadahkan tangan di pojok-pojok jembatan. Pada makanan–makanan sederhana yang terkirim ke handai taulan.

Ilaahi,,,aku tak sanggup mencintaiMu dengan khusyuknya shalat salah seorang shahabat NabiMu hingga tiada terasa anak panah musuh terhunjam di kakinya. Karena itu Ya Allah,,, perkenankanlah aku tertatih menggapai cintaMu, dalam shalat yang coba kudirikan terbata-bata, meski ingatan kadang melayang ke berbagai permasalahan dunia.

Robbii, aku tak dapat beribadah ala para sufi dan rahib, yang membaktikan seluruh malamnya untuk bercinta denganMu. Maka izinkanlah aku untuk mencintaimu dalam satu-dua rekaat lailku. Dalam satu dua sunnah nafilahMu. Dalam desah napas kepasrahan tidurku.

Yaa, Maha Rahmaan,
Aku tak sanggup mencintaiMu bagai para al hafidz dan hafidzah, yang menuntaskan kalamMu dalam satu putaran malam. Perkenankanlah aku mencintaiMu, melalui selembar dua lembar tilawah harianku. Lewat lantunan seayat dua ayat hafalanku.

Yaa Rahiim,,,
Aku tak sanggup mencintaiMu semisal Sumayyah, yang mempersembahkan jiwa demi tegaknya DienMu. Seandai para syuhada, yang menjual dirinya dalam jihadnya bagiMu. Maka perkenankanlah aku mencintaiMu dengan mempersembahkan sedikit bakti dan pengorbanan untuk dakwahMu. Maka izinkanlah aku mencintaiMu dengan sedikit pengajaran bagi tumbuhnya generasi baru.

Allahu Kariim, aku tak sanggup mencintaiMu di atas segalanya, bagai Ibrahim yang rela tinggalkan putra dan zaujahnya, dan patuh mengorbankan pemuda biji matanya. Maka izinkanlah aku mencintaiMu di dalam segalanya. Izinkan aku mencintaiMu dengan mencintai keluargaku, dengan mencintai sahabat-sahabatku, dengan mencintai manusia dan alam semesta.

Allaahu Rahmaanurrahiim, Ilaahi Rabbii
Perkenankanlah aku mencintaiMu semampuku. Agar cinta itu mengalun dalam jiwa. Agar cinta ini mengalir di sepanjang nadiku.

Tuesday, April 13, 2010

MIDNIGHT MULTIPLE ORGASM




Pertama, ijinkan saya mengucapkan terima kasih pada Tuhan YME yang telah membiarkan saya terjaga malam ini dan menakdirkan saya menonton Topik Kita di Anteve. Tayangan ini membuat saya luar biasa terangsang, mengambil laptop, dan kemudian menuntaskan syahwat menulis saya. Hasilnya: Sebuah ejakulasi batin yang juga luar biasa nikmatnya. Sudah lama saya tak merasakannya.

Tunggu, tunggu.., it’s coming again…, saya mau ejakulasi lagi…: TERKUTUKLAH PARTAI HANURA, GERINDRA, PBB, PARTAI PATRIOT, PDP, PKPB DAN PKPI YANG MENGUSUNG JUPE JADI CAWABUP PACITAN!! TUHAN…!!! PANJENENGAN DILECEHKAN!!! ORANG-ORANG PARPOL ITU MENGANGGAP PANJENGAN TIDAK MELENGKAPI RAKYAT PACITAN DENGAN ORGAN TUBUH BERNAMA OTAK!!! Hhhh… hhh… hhhh..

“Masyarakat tidak bisa menilai kualitas seseorang dari luar saja,” kata Ali Kasela, ketua DPP Hanura. Don’t judge a book by its cover maksudnya?? DON’T JUDGE.. DON’T JUDGE… BATUKMU KREWAKKK!!!! KETIKA DITELPON PERTAMA KALI OLEH RENNY DJAYUSMAN DAN DITAWARI JADI CAWABUP PACITAN, JUPE BAHKAN TIDAK TAHU LETAK PACITAN ITU DIMANA!!! JANGAN-JANGAN BARU KALI ITU DENGAR NAMA PACITAN??!! SAMPAI SEKARANG PUN JUPE BELUM PERNAH MENGINJAKKAN KAKINYA DI TANAH PACITAN!! DIAAMPUTTTTT!!! Hhhh… hhh… hhhh…..

Ini bukan masalah buah dada besar jupe.. pose bugil.. goyang mesum, iklan kondom, atau tetek bengek kelakuan bitchy Jupe.. Tapi bapak-bapak dan ibu-ibu wakil rakyat yang terhormat dan pinternya luar biasa, masyarakat indonesia tidak segoblok yang Anda pikir. Sekarang ada teknologi bernama internet dan berbagai media lain yang begitu informatifnya (Termasuk wawancara Anteve yang sedang saya lihat ini), sehingga semua orang bisa tahu track record Jupe dari awal dadanya rata sampai segede sekarang. Termasuk kualitas otak, prestasi akademis, kemampuan teknis, pengalaman managerial, atau sekedar informasi mengenai betapa sibuknya ia mengurus payudara agar tampak sempurna di hadapan fotografer FHM dan Maxim Perancis, sementara anak muda lain sibuk ikut organisasi Senat, HMI, LSM, NGO, dll!!! JADI MASIH DON’T JUDGE A BOOK BY ITS COVER?? DON’T JUDGE MY ASS!!! JUST KISS IT!!!

Pernah denger istilah kompetensi kah? Mau jadi Indonesian idol? Harus bisa nyanyi. Mau jadi pembalap, wajib mahir nyetir. Mau jadi tukang becak? Harus punya semangat pantang menyerah, tubuh bugar, dan bisa mengendalikan becak yang beroda tiga dengan baik, karena becak susah dikemudikan oleh yang bukan ahlinya. Mau jadi artis seronok? Kalau yang ini cukup punya tubuh langsing plus dada dan pantat besar saja lah!! Maksud saya….. ANNJJJIIIIIIIING!!!!! ADA RIBUAN ANAK BANGSA BEROTAK BRILIAN TAPI HARUS MENGIKUTI SELEKSI SUPERKETAT, BERDARAH-DARAH UNTUK BISA DITERIMA BEKERJA DI PERUSAHAAN ASING, DAN SEKARANG KITA MAU MENYODORKAN TUKANG GOYANG PAYUDARA YANG NGGAK JELAS INTELEKTUALITASNYA UNTUK MEMIMPIN SEBUAH BAGIAN DARI TUMPAH DARAH KITA YANG BERNAMA PACITAN???!! Tolong.., tolong…, saya butuh kata yang lebih tepat untuk ejakulasi selanjutnya agar tetap terasa sensasinya. . . . . . . . . . . . . . .JANCOOKKKK!!!!

“Bisa learning by doing,” kata Jupe. LEARNING BY DOING RAIMU!! ADA RAKYAT YANG DIPERTARUHKAN SEMENTARA KAMU BARU MEMPELAJARI TOKO MANA DI PACITAN YANG MENJUAL BRA DENGAN UKURAN PAYUDARA SEGEDE ITU!!!

Saya jarang nulis dan ejakulasi batin sambil pengen nangis. Saya baru merasakannya sekarang. ADA 600 RIBU JIWA YANG TERANCAM AKAN DINAIKKAN PESAWAT YANG DIPILOTI TUKANG BECAK!!! DAN ITU MANUSIA SEMUA!!! JAYALAH INDONESIA!!! JAYALAH INDONESIA DENGAN PARTAI-PARTAI BERISI BANYAK ORANG BANGSAT DI DALAMNYA!!!

LIMA TAHUN LAGI, AKAN SAYA POSTING KEMBALI TULISAN INI UNTUK MENGINGATKAN ANDA DAN DIRI SAYA SENDIRI BAHWA ADA PARTAI-PARTAI PENGKHIANAT DAN PENGECUT DENGAN BERLINDUNG DI BAWAH UU YANG MENGATAKAN BAHWA SETIAP WARGA NEGARA BERHAK MENCALONKAN DIRI JADI PEMIMPIN, TANPA MEMPERDULIKAN KOMPETENSI CALON PEMIMPIN DAN MENGGADAIKAN NASIB RAKYAT PACITAN!!!

UNTUNG GAK NYALON WALIKOTA SUROBOYO KON!! ISOK DIKARAK NDUKUR HOTEL YAMATO, DISUWEK KLAMBINE BEN GAK KLAMBIAN PISAN!! MERRRDEEKA REKK!!! MERDEKAAA!!!! Hahhhhh… hhhhhhhhh…..hhhhhh…hhhhhh…….hhhhhhhhhh….

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites