Tuesday, June 15, 2010

PLN, DBL, dan Pasar Atom



Begitu Dahlan Iskan terpilih jadi Direktur Utama PLN, saya percaya, haqul yaqin, bahwa PLN akan dapat mengatasi problem akut di perusahaan listrik negara itu. Kenapa? Karena Dahlan Iskan memegang kendali komunikasi. Titik.

Titik? Sebenarnya ada komanya: kemampuan teknis. Tapi saya betul-betul ingin mengatakan bahwa kendali komunikasi (ditambah kemampuan teknis) yang dimiliki Dahlan Iskan benar-benar punya “daya setrum” yang luar biasa. Dan “daya setrum” itu berasal dari genset bermerek Jawa Pos, salah satu media terbesar yang ada di Indonesia.

Apa hubungannya Jawa Pos dengan PLN? Apa korelasinya antara listrik dan media?
Salah satu masalah terberat PLN adalah krisis kepercayaan. Tak cuma dari masyarakat, tapi juga dari internal PLN sendiri. Masalah krisis listrik di negara ini menjadi puluhan kali lebih berat karena PLN bekerja di bawah sikap skeptis rakyat Indonesia dan karyawannya sendiri. Hasilnya: Menjadikan seluruh kabupaten dan provinsi di Indonesia bebas dari byar pet dianggap sama susahnya dengan membawa Timnas Indonesia masuk ke Piala Dunia. Sangat susah. Hil yang mustahal, kata Asmuni Srimulat. Kalau pun bisa, butuh waktu yang sangat lama dan bahkan hitungan dasawarsa untuk mewujudkannya.

Oleh karena itu, salah satu “pekerjaan wajib” Dirut PLN adalah “memberikan klarifikasi” kepada masyarakat dan internal PLN sendiri mengenai masalah-masalah riil yang terjadi di perusahaan listrik negara itu. Penjelasan itu menjadi penting, karena selama ini, tak ada informasi apa pun yang diterima masyarakat, kenapa Jakarta bisa blackout, kenapa krisis listrik tak kunjung bisa diatasi sehingga masih begitu banyak wilayah Indonesia yang masih mengalami pemadaman bergilir,dll. Jadi jangan salahkan rakyat kalau mereka tak percaya. Yang mereka tahu, PLN tak becus bekerja.

Dengan menulis, Dahlan sedari awal terus memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai masalah-masalah riil yang terjadi di PLN. Lewat Jawa Pos, Dahlan bisa melaporkan progress tentang apa yang ia kerjakan. Lewat media, Dahlan bisa “meminta pengertian” masyarakat untuk sedikit “lebih bersabar”. “PLN sedang bekerja keras. Beberapa daerah sudah bebas byar pet, daerah Anda sebentar lagi,” begitu kira-kira yang terus disuarakan Dahlan setiap kali ia menulis di korannya sendiri, Jawa Pos.

Kompas, 19 Mei 2010, memuat tulisan yang judulnya saja mungkin memerahkan telinga Dahlan: “Target PLN Atasi Krisis Tak Tercapai”. Enam hari setelah itu, Dahlan langsung meng-counter lewat Jawa Pos. Ia paparkan kembali progress-progress signifikan yang telah ia lakukan di PLN. Ia yakinkan masyarakat bahwa apa yang dikatakan Kompas –yang juga kompetitor Jawa Pos- tidak sepenuhnya benar. Ia berikan data-data tandingan. Ia beberkan fakta-fakta yang mungkin selama ini tidak diketahui masyarakat. Tak cukup itu, beberapa minggu setelahnya, Jawa Pos memuat satu halaman penuh peta Indonesia! Isinya daerah-daerah mana saja yang sudah bebas pemadaman bergilir dan daerah mana saja yang belum, lengkap dengan tanggal target kapan daerah tersebut akan menyusul bebas byar pet.

Hebat! Artikel-artikel Dahlan Iskan yang diterbitkan secara terus-menerus, disadari atau tidak, akan menimbulkan sikap optimis di masyarakat, karena rakyat jadi tahu dan “tersugesti” bahwa PLN telah berhasil melakukan progress signifikan dan membebaskan beberapa daerah dari krisis listrik. Di kalangan internal PLN, itu jadi tantangan yang harus dihadapi dan harus berhasil dilakukan. Lha wong sudah diumumkan di koran terbesar kapan sebuah daerah bebas byar pet, kalau tidak sesuai jadwal, bisa digebuki orang satu kabupaten!

Kalau awak redaksi Koran, sih sudah biasa dengan deadline. Mau bumi berguncang, besok pagi koran harus terbit! Tapi karyawan PLN? Bisakah internal PLN melakukan budaya itu? Harus bisa, Lha wong sudah diumumkan di Koran. Apa mau digebuki orang satu kabupaten?!

Kalau nanti terbukti bahwa PLN sanggup bangkit dan membebaskan Indonesia dari “byar-pet”, itu bukan cuma karena Dahlan Iskan menguasai masalah kelistrikan, tapi juga karena ia pandai menulis, dan ada sebuah media yang selalu “sendiko dawuh” memuat tulisannya itu dan menjadi media komunikasi PLN dengan masyarakat luas, termasuk orang-orang yang selama ini meragukan kinerja PLN dan kepemimpinannya.

***

Hal yang sama dilakukan oleh anak laki-laki satu-satunya Dahlan Iskan, Azrul Ananda, yang sekarang sedang punya “hajat besar” dengan DBL nya. Anda tahu DBL? Saya yakin hanya sedikit dari Anda yang tak tahu. Apalagi bagi Anda pecinta basket. Deteksi Basketball Leauge yang sekarang telah diganti nama menjadi Development Basketball League ini menjadi harapan baru basket nasional. Popularitasnya bahkan mengalahkan NBL (dulu IBL), liga basket profesional Indonesia.

Begitu tinggi apresiasi masyarakat terhadap DBL, kini PT DBL Indonesia, pengelola DBL, dipercaya menjadi pengelola NBL. Ini sebenarnya lucu sekaligus ironis. Lha wong liga basket anak SMA kok bisa lebih sukses dibanding liga profesional. Kedengarannya kok aneh . Saru.

Tapi itulah yang terjadi dengan DBL. Dari sekadar kompetisi basket antar SMA di Surabaya yang dibuat sebagai salah satu even Deteksi, halaman muda Jawa Pos yang digagas oleh Azrul, DBL kini menjadi raja basket Indonesia. Mengambil alih liga profesional NBL, dan bahkan bekerjasama dengan NBA, liga basket paling popular di seluruh jagad.

Bagaimana DBL bisa sesukses itu? Jawabannya –menurut saya- cuma satu: Jawa Pos.
Saya tahu saya bisa dilempar sepatu oleh beberapa teman saya di PT DBL Indonesia atas pernyataan subyektif saya itu. Saya tahu betul ada kerja superkeras dari tim PT DBL Indonesia plus otak cemerlang Azrul dalam membangun DBL hingga sepopular sekarang. Tapi saya juga yakin DBL tak akan bisa sebesar ini, atau paling tidak menjadi besar secepat ini, tanpa Jawa Pos.

Sebagai putra pewaris tahta kerajaan media, Azrul Ananda punya power luar biasa di Jawa Pos. Ia bahkan bisa memerankan berbagai peran di salah satu koran terbesar di Indonesia itu. Wakil direktur, redaktur kota, redaktur hiburan, penulis F1 dan basket, atau apa sajalah yang menarik baginya.

Dengan “sejentikan jari” ia bisa menggusur berita-berita besar –yang mungkin jadi headline di Koran seluruh Indonesia- untuk ditempatkan di halaman atau posisi lain, dan menggantinya dengan liputan DBL. Saat even DBL digelar seperti sekarang, saya dapat pastikan berita tentang DBL ada di halaman satu Jawa Pos, atau paling tidak di halaman-halaman strategis lainnya, setiap hari. Mereka yang tak suka dan tak tertarik dengan basket, mau tak mau harus tahu dan “mencicipi” hebohnya DBL persis di saat loper Koran mengantar Jawa Pos ke rumah mereka. Paling tidak, membaca judulnya yang provokatif, atau melihat fotonya yang dramatis.

Sejak pertama kali digelar tahun 2004, kini siapa yang tak kenal DBL? kalau dulu hanya melibatkan emosi peserta dan teman-teman sekolahnya, kini keluarga, saudara, tetangga, dan bahkan masyarakat luas ikut larut dalam euforia DBL. Kenapa bisa begitu? Karena selama enam tahun (setiap hari selama DBL digelar) Jawa Pos terus “mengedukasi” pembacanya yang sangat besar jumlahnya, bahwa DBL heboh, seru, dan keren.

Salahkah? Tentu saja tidak. Karena salah satu “kesaktian” media adalah membentuk opini. Lama-kelamaan, jika diopinikan secara konstan, sesuatu yang diopinikan akan benar-benar menjadi kenyataan.

Saya sedikit banyak tahu perjalanan DBL. Dua tahun pertama diselenggarakan, saya kebetulan menjadi bagian dari usaha untuk membangun DBL. Saya dan seorang teman yang sekarang menjadi dosen Unair –saat itu wartawan olahraga Jawa Pos-, adalah orang yang “ketiban sampur”, ditugasi oleh Azrul untuk menulis berita-berita DBL. Saya belajar bagaimana seorang Azrul membangun opini mengenai DBL, dengan selalu berusaha membangun citra positif DBL.

Di tahun-tahun pertama, mungkin tak begitu terasa efeknya. Tapi itu menjadi pondasi yang sangat kuat dan menentukan arah ke depan. Hasilnya: DBL kini bahkan telah menjadi perhatian NBA sekalipun.

Saya masih ingat betul bagaimana Azrul dengan disiplin superketat menuntut saya tak hanya menulis dengan baik, tapi juga membangun keterikatan emosional peserta, sekolah, keluarga, dan semua masyarakat pada DBL dengan media Jawa Pos. Begitu “menakutkannya” tugas itu, tak ada satu pun penulis yang berani menerima tugas itu. Kalau pun berani, jika masih punya pilihan, saya yakin mereka memilih untuk tidak menulis DBL, karena begitu kerasnya Azrul pada penulisnya. Sementara saya, waktu itu memang jadi “penulis langganan” Azrul. Sebab ketika itu saya ada di desk hiburan dimana azrul tercatat sebagai redakturnya. Penulis lain akan panik kalau saya sakit,atau berhalangan kerja. Saya juga panik, tapi tak ada pilihan.

Di awal DBL, saya sering (harus) menulis “Ribuan orang datang menyaksikan DBL”, tapi orang tak sadar setelah kalimat itu ada kalimat “yang menonton secara bergantian dalam tiga pertandingan”. Foto diambil dari angle yang terlihat sangat penuh. Empat lima orang suporter atraktif difoto dengan baik, ditampilkan dalam koran esok pagi, dan lusa ratusan suporter lain akan berlomba-lomba adu kreasi agar bisa masuk koran juga. Siapa yang tak bangga fotonya ada di koran sebesar Jawa Pos? kadang saya juga merasa akhirnya banyak yang over acting juga, baik pemain, penonton, atau bahkan official nya.

Siapa bilang itu bohong? Semua faktanya ada dan benar. Cuma permainan teknis media saja. Pada awal-awal DBL kesan “settingan” memang terasa, itu pun bagi orang-orang yang sensitif. Tapi lihatlah sekarang. DBL memang benar-benar heboh,seru, hebat.

Kini DBL benar-benar tersebar di seluruh nusantara. Memberangkatkan pemenangnya untuk bertanding dengan tim-tim SMA luar negeri, mendatangkan pemain-pemain NBA, dll. Sekarang, DBL benar-benar hebat.
Hari ini, yang tak tahu DBL adalah anak-anak muda yang ndeso dan orang-orang tua yang tidak mengikuti perkembangan jaman. Hebat, nggak? Hebat. Kok bisa hebat? Karena kerja superkeras tim DBL, otak cemerlang Azrul Ananda, dan Jawa Pos sebagai faktor utama (menurut saya).

***

Sebenarnya, dalam tulisan panjang ini saya hanya ingin mengatakan bahwa media punya peran yang sangat besar dalam memenangkan persaingan. Sebab, ia mampu menjadi doktrin yang akan diyakini tanpa paksaan. Sangat smooth dan melenakan.

Kita tak harus punya media sebesar Jawa Pos untuk membentuk opini dan kemudian merebut hati pasar. Yang perlu kita lakukan adalah melakukan komunikasi dengan intens dan memastikan orang-orang yang ada dalam lingkungan bisnis kita, berpikir seperti yang kita inginkan.

Komunikasi seperti apa? Iklan? Ya. Website? Bisa. SMS interaktif? Mungkin saja. Tapi siapa bilang kita tak bisa membuat “Jawa Pos” kita sendiri? Tak perlu oplah ratusan ribu. Cukup dibaca oleh orang-orang yang ada di lingkungan bisnis kita saja dan berpotensi menguntungkan kita dan lingkungan bisnis itu sendiri. Bisa karyawan, customer, atau stakeholder.

Apa bisa? Tentu saja! Tak perlu dulu seperti Unilever, yang dengan media internal nya, bisa memberikan “perlawanan”, ketika perusahaan tersebut diprotes oleh organisasi lingkungan hidup Green Peace. Ambil saja Pasar Atom sebagai contohnya.

Empat tahun lalu, ITC Mega Grosir dibangun tepat di depan Pasar Atom. Itu cukup menjadi ancaman bagi Pasar Atom yang juga baru saja membangun Pasar Atom Mall, pengembangan dari Pasar Atom lama yang bernuansa grosir tradisional.

Saat itu pula, Pasar Atom menerbitkan majalah Shopping at Pasar Atom. Apa manfaatnya? Tak akan merubah apa-apa. Tambah budgeting, malah. Begitu kira-kira pikiran banyak orang. Memang betul. Tapi itu tahun-tahun pertama. Lihatlah sekarang. ITC tak mampu menandingi “keperkasaan” Pasar Atom dan Pasar Atom Mall yang tingkat okupansinya selalu tak kurang dari 95%.

Apa itu peran majalah Shopping at Pasar Atom? Sedikit banyak, ya! Karena majalah itu mampu membentuk opini dan menciptakan keterikatan emosional antara pengunjung, tenant, dan pengelola Pasar Atom.

Ia menjadi daya pikat orang untuk lebih memilih belanja atau membuka toko di Pasar Atom dibanding di ITC. Kenapa? Karena majalah itu mengajak satu orang setiap bulannya untuk belanja gratis bareng majalah Shopping at Pasar Atom, judul rubriknya: Shopping with u! Karena ada kuis dan discount di majalah itu. Karena ada ada hadiah uang tunai setiap kali berbelanja di tenant-tenant yang memasang iklan di majalah Shopping at Pasar Atom. Karena ada profile tenant dan liputan mengenai toko-toko baru di majalah bulanan itu. Dan semuanya gratis karena majalah dibagikan cuma-Cuma dan bisa didapat di banyak tempat di surabaya. Mulai hotel, taksi, resto, lounge, gym, dll.

Yang juga menarik, majalah ini bahkan kini bersaing dalam arti sesungguhnya dengan majalah-majalah komersil lokal surabaya. Karena banyak pengiklan yang ingin masuk ke majalah ini. Bahkan redaksi seringkali menolak dengan alasan melindungi kepentingan pedagang Pasar Atom. Kini, majalah Shopping telah terbit selama empat tahun tanpa jeda.

“Ooohhh.. jualan!” begitu pasti gumam Anda. “Oohhh…. Diaz narsis. Lha wong Shopping at Pasar Atom itu kamu yang ngerjain!” Memang iya, tapi saya yakin di awal tulisan tadi telah membentuk opini, dan secara smooth telah mempengaruhi pembaca. Narsis Itu juga salah satu ilmu yang saya pelajari dari Azrul Ananda.. heheh..Selamat membentuk opini . 

2 comment:

tau deh yang jadi muridnya bapak dan anak itu :D

jadi inget film 007 itu, hehehe, kekuatan media :p

hahaha.. bukannya tulisan itu justru terdengar "memperolok" bapak-anak itu ya fen? maksudnya, justru sounds like: "oo.. ternyata.. pantes DBL sukses. Aku yo isok lek ngono... gak azrul tok" wkwkwkwkwkwkwk

Fen.. aku jane pengen melok komunitas blog mu iku.. opo jenenge.. Tugu Pahlawan yo? sopo eruh nambah link.. :)

btw.. komen blogmu cek akehe fen.. tenar lo yo arek iki.. :)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites