Transportasi dan Transformasi Budaya

Boleh jadi, masalah kebangsaan kita -termasuk transportasi- adalah masalah "human being". Ego untuk mendapat hal-hal "material" untuk diri kita sendiri.

PLN, DBL, dan Pasar Atom

Dahlan sukses di PLN karena kendali komunikasi, DBL besar (salah satunya) karena JP, Atom menang bersaing karena (salah satunya) media internal.

Rindu, Keju, dan Bokong

kenapa bagian bawah punggung kita dimakan bokong? Kenapa tidak keju? Kenapa keju tidak dinamakan bokong saja? Kenapa?.

Realita Cinta, (Pipis), dan Rock n Roll

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara cinta dan kebelet pipis. Keduanya mendesak, top number 1, dan menimbulkan efek suara yang sama: Ahhh..

Cerita Berambut

Dulu, saya benci sekali potong rambut. Selalu meras lebih pede dan "dapet gaya" dengan rambut gondrong. Demi masa, begitu cepat waktu berlalu.

Monday, August 01, 2016

Mengembalikan Optimisme Swasembada Gula

Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menargetkan swasembada gula pada tahun 2019. Targetnya tidak main-main: 3,8 juta ton atau setara dengan pertumbuhan sebesar 8,30 persen per tahun. Angka tersebut bagi beberapa pihak, termasuk para pelaku industri gula sendiri adalah “angka ilusi”.

Pesimisme tersebut mendapat pembenaran jika didasarkan pada data yang menyebutkan bahwa angka pertumbuhan produksi gula tebu sepuluh tahun terakhir tidak pernah lebih dari 3 persen. Keraguan pada keberhasilan program Swasembada Gula 2019 semakin menjadi-jadi ketika pada awal tahun 2016 lalu, Asosiasi Gula Indonesia (AGI) merilis data bahwa produksi gula nasional pada tahun 2015 tercatat hanya mencapai 2,49 juta ton, lebih rendah dibanding target yang ditetapkan Kementerian Pertanian (Kementan) sebesar 2,7 juta ton. Tapi apakah benar kita tidak mampu mencapai target tersebut?

Kebutuhan gula nasional saat ini diperkirakan sebesar 5,7 juta ton. Rinciannya 2,8 juta ton merupakan Gula Kristal Putih (GKP) untuk konsumsi masyarakat dan sisanya sebesar 2,9 juta ton adalah Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk industri.

Saat ini, GKP diproduksi oleh 62 pabrik gula. Dari jumlah tersebut, 50 unit merupakan milik BUMN. Sebanyak 64,5 persen pabrik gula tersebut telah berumur lebih dari 100 tahun. Kemudian, sebanyak 69,4 persen pabrik milik BUMN berkapasitas kecil atau di bawah 4.000 TCD. Ini merupakan salah satu tantangan besar bagi pemerintah dalam menyelesaikan target produksi gula sebesar 3,8 juta ton beberapa tahun ke depan. Belum lagi bermasalah lainnya yang juga membutuhkan perhatian serius, seperti keterbatasan lahan, kepastian akan ketersediaan pupuk, dll.

Untuk itu pemerintah telah menyiapkan strategi yang secara garis besar dapat dirangkum menjadi dua hal: Intensifikasi dan ekstensifikasi. Salah satu aplikasi dari strategi intensifikasi adalah melalui revitalisasi pabrik. Dalam hal ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang cukup berani yakni merekomendasi penutupan sejumlah pabrik gula milik negara yang dianggap kurang produktif.

Sekilas, kebijakan tersebut memang terdengar tidak populer dan kontroversial. Namun jika ditelaah kembali, pengurangan jumlah pabrik gula milik BUMN tersebut akan akan membuat pemerintah dapat lebih fokus dalam memperbaiki dan mengoptimalkan produksi dari pabrik yang tersisa. Langkah ini adalah sebuah keniscayaan,mengingat pemerintah akan kewalahan jika harus merevitalisasi semua pabrik gula yang ada. Jumlah pendanaan yang dibutuhkan tentu akan sangat besar. Ingat, dari 50 pabrik gula milik BUMN, hampir 70 persen diantaranya memiliki mesin dengan kapasitas kecil di bawah 4.000 TDC. Jadi, kenapa tidak fokus pada yang 30 persen? Rencananya, dengan pabrik yang tersisa nantinya, kapasitas produksinya akan digenjot hingga lebih dari 6.000 ton tebu per hari.

Strategi intensifikasi tersebut juga akan dibarengi dengan penyiapan bibit unggul tebu, dimana Ditjen Perkebunan telah ditugasi untuk “menduplikasi” program pembibitan pada tanaman pangan lainnya seperti jagung dan padi. Agustus ini, pemerintah juga merencanakan untuk mendatangkan tujuh varietas tebu unggulan dari Brazil yang selama ini dikenal sebagai produsen tebu terbaik dunia.

Yang juga memunculkan optimisme baru, upaya intensifikasi tersebut juga dibarengi dengan strategi ekstensifikasi dengan pendirian 13 pabrik gula baru dengan kapasitas giling yang besar, hingga 10.000 TDC. Pabrik tersebut nantinya juga akan dilengkapi dengan program modernisasi mesin dan peralatan.

Pabrik-pabrik gula tersebut direncanakan akan difokuskan untuk dibangun di luar Jawa. Selain dapat mengoptimalkan peluang diversifikasi industri tebu seperti peningkatan produksi listrik dari ampas tebu dan menunjang industri bioethanol, pembangunan pabrik gula di luar Jawa akan terintegrasi dengan program-program pemerintah lainnya: Pemerataan pembangunan dan penyerapan tenaga kerja yang akan berdampak baik bagi ekonomi makro Indonesia.

Tentu, kebijakan-kebijakan tersebut di atas bukannya tanpa risiko. Dibutuhkan suntikan dana yang juga tak sedikit untuk merevitalisasi pabrik pilihan yang tersisa dan mendirikan pabrik baru. Untuk revitalisasi pabrik gula, pemerintah telah berkomitmen untuk menyuntikkan dana sekitar USD 15 ribu hingga USD 20 ribu untuk setiap kenaikan kapasitas giling satu ton tebu per hari, sementara dana untuk pembangunan pabrik gula baru dengan kapasitas giling mencapai 10 ribu TCD, investasi yang akan digelontorkan akan mencapai Rp 1,5 triliun hingga Rp 2 triliun.

Jika program ini benar-benar terealisasi, tentu ini akan menjadi angin segar dan melahirkan optimisme baru bagi industri gula nasional. Tapi tentu masalah tidak hanya berhenti sampai revitalisasi dan pembangunan pabrik gula. Jika pabrik telah memiliki kapasitas produksi yang besar, bagaimana dengan kepastian bahan bakunya? Harap diingat, untuk memastikan satu pabrik gula baru dengan kapasitas 10 ribu TDC dapat melakukan aktifitas produksi secara maksimal, diperlukan sekitar 20 ribu hektar lahan untuk memasuk tebu. Jika pabrik-pabrik tersebut dibangun di luar Jawa, apakah dapat dipastikan bahwa lahan yang ada nantinya cocok dengan agroklimat tebu?

Di sinilah strategi ekstensifikasi dijalankan: penyiapan lahan baru. Dari sisi kecocokan dengan agroklimat tebu, Indonesia agaknya tak perlu terlalu khawatir dan masih layak “menyandang gelar” sebagai salah satu negara dengan tanah tersubur di dunia. Selain di Jawa, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Barat adalah beberapa diantara wilayah Indonesia yang lahannya cocok dengan agroklimat tebu.

Pemerintah mengklaim telah menyiapkan investasi sebesar Rp 5 triliun untuk membuka lahan sebesar 380 ribu hektar. Bahkan sebuah sumber menyebutkan, melalui Perhutani, pemerintah menargetkan untuk membuka lahan sebesar 500 ribu hektar. Jika terealisasi sesuai dengan rencana, pabrik gula yang akan “menikmati” program esktensifikasi akan dapat melakukan produksi dengan kapasitas 10 juta ton cane per day untuk kegiatan on farm maupun off farm dan tiga hingga lima tahun ke depan.

Yang menarik, dengan segala upaya intensifikasi dan ekstensifikasi yang dilakukan pemerintah, bukan hanya pabrik gula milik negara yang diberi tugas untuk menyukseskan target swasembada gula. 15 Pabrik gula swasta existing saat pun diwacanakan untuk diwajibkan menanam tebu.

Setelah semua strategi intensifikasi dan ekstensifikasi yang telah dipaparkan di atas, tentu mimpi semua pihak untuk mencapai swasembada gula membutuhkan sinergi dari pemerintah, BUMN, dan semua stakeholder pada industri gula, mulai dari kementerian-kementerian teknis, BUMN terkait termasuk industri perbankan, pelaku pada industri gula seperti Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI) dan Asosiasi Gula Indonesia (AGI), hingga elemen-elemen masyarakat yang concern pada pendampingan para petani tebu seperti Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Serikat Pekerja Perkebunan (SPBUN), dll.

Mungkin ini tidak mudah. Tapi dengan segala hal yang telah diupayakan di atas, kiranya peringatan Kemerdekaan Republik Indonesi yang ke-71 ini dapat menjadi momen yang baik bagi semua pihak untuk kembali bersama-sama merapatkan barisan dan fokus pada tujuan luhur bangsa: Menyejahterakan kehidupan bangsa, dimana menjamin swasembada pangan dan energi melalui revitalisasi industri gula bisa menjadi salah satu perwujudannya.



Thursday, December 24, 2015

Laki-Laki dan Ejakulasi Dini

Sungguh berat menjadi laki-laki di negeri ini. Kalau saja ukuran laki-laki hanya memakai parameter otot bisep yang mengembang, dada yang bidang, atau seberapa besar peluang untuk menjatuhkan lawan, tentulah menjadi laki-laki dapat dengan mudah diraih, atau paling tidak bisa dilatih.

Tapi sungguh menjadi laki-laki jauh lebih sukar dibanding sekadar memiliki tubuh kekar. Sedari kecil, laki-laki selalu didoktrin sebagai  pemikul beban. Pria-pria kecil selalu disiapkan oleh para orang tua untuk menjadi pemimpin, pelindung, dan pengambil keputusan. Ketika jatuh tak boleh menangis, karena ia laki-laki. Saat bermain harus mengalah pada yang lemah, karena ia laki-laki. Beranjak remaja, ia harus yang pertama kali menyatakan cinta, karena ia pria. Ketika hendak  menyeberang jalan, ia harus bersedia memosisikan diri untuk tertabrak duluan.

Ketika dewasa, soal ujian para lelaki tak berhenti, malah menjadi-jadi. Mau melamar pacar, kerjamu apa? Bagaimana mungkin calon mertua melepaskan anak wanitanya pada pria yang  tak jelas masa depannya? Mau diberi makan apa?  Mau tinggal dimana? Tahukah kamu, hai calon menantu, harga properti begitu gila. Di kota besar seperti Surabaya, misalnya, harga rumah sama absurdnya dengan sinetron Ganteng- Ganteng Serigala. Rumah 5 X 10 meter yang ketika kita membuka pintu utama langsung bisa melihat tembok paling belakang, harganya bisa Rp 400 juta.  Laki-laki harus rajin membaca berita ekonomi, agar tahu fluktuasi bunga yang begitu tinggi. Laki-laki harus menyiapkan daya tahan selama belasan atau bahkan puluhan tahun ke depan, dimana tiba-tiba cicilan bisa naik signifikan.

Para pria yang akan masuk ke jenjang menikah juga dihadapkan pada  begitu banyak tantangan lainnya, dimana kredibiltasnya sebagai laki-laki dipertaruhkan. Soal kawin soal gampang, mudah, tapi nanti ketika Sang Buah Hati sudah dikandung istri, berapa biaya yang harus dipersiapkan untuk memastikan sebagian tulang rusuk kita itu berada dalam perawatan dokter berpengalaman, tidak tidur di kasur tipis setelah berjuang mati-matian, di sebuah bangsal rumah sakit yang kumuh?

Next, ketika anak sudah lahir, laki-laki harus mengatasi segala kondisi gawat darurat, termasuk jika Si Kecil jatuh sakit. Berapa biaya rumah sakit di jaman ini? Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar premi asuransi mengingat kondisi gawat darurat dapat datang setiap saat. Laki-laki harus selalu memastikan anak istrinya mendapatkan penanganan terbaik.  

Rumit, bukan? Belum. BBM dan tarif dasar listrik yang terus melambung membuat harga kebutuhan pokok juga terkerek. Biaya kebutuhan hidup tak bisa tak bisa diundur seperti mekanisme pencairan BG mundur. Apalagi di jaman sekarang yang kebijakannya cenderung liberal. Bagaimana mungkin BBM, listrik, dan hal lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak diserahkan pada mekanisme pasar? Naik dan turun mengikuti nilai tukar rupiah dan harga minyak dunia. Jadi misalnya, seperti kejadian beberapa saat lalu dimana Rusia dan Turki bersitegang, kita harus ikut tegang karena konflik dua negara nun jauh di sana itu berpotensi memengaruhi naiknya harga minyak dunia, dan itu berarti harga BBM dan listrik di negara kita akan naik juga. Jangan heran juga kalau semisal The Fed (Bank Sentral Amerika) menaikkan suku bunga, maka nilai tukar rupiah turun. Akibatnya: BBM dan listrik akan sangat mungkin naik juga.

Tapi kalau minyak mentah dunia turun kan BBM kan juga turun seperti awal 2016 ini? Iya, tapi coba lihat grafiknya. Tahun 2011 Harga terendah minyak mentah dunia adalah USD 102, saat itu premium dijual Rp 4.500. Tahun 2015, harga minyak mentah dunia USD 36,3, dan harga premium Rp 7.400.  Terlihat grafiknya? Tidak? Tapi sudahlah, masalahnya sebenarnya bukan naik atau turunnya, tapi penerapan kebijakan neo-liberal. Saya setuju jika subsidi BBM dicabut dan khusus diberikan pada yang berhak, yang lain harus minimal pertamax. Setuju. Tapi mendasarkan kenaikan dan penurunan BBM dan listrik dengan menyerahkannya pada mekanisme pasar? Rrrrrr.....

Oke lah. Balik lagi soal laki-laki. Yang juga sangat-sangat krusial adalah pendidikan. Terus terang saja, sekolah-sekolah negeri kini kalah pamor dengan sekolah swasta yang memang memiliki kualitas dan metode pembelajaran yang lebih baik. Apa boleh buat, biaya pendaftaran SD yang mencapai belasan juta dan SPP yang mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah pun harus diusahakan dengan segala daya upaya demi masa depan Sang Buah Hati. 

Apalagi? Apalagi? Berikan semua bebannya. Semua laki-laki tak akan lari dari tanggung jawabnya, meski mungkin tak bisa membuat semuanya sempurna. Semua laki-laki telah terlatih sejak kecil untuk menjadi pemimpin. Dalam otaknya telah tertanam bahwa ialah pelindung. Ia tahu bahwa ia adalah penanggung jawab. Ia bersedia melakukan apa saja untuk mereka yang dicintainya. Ia sanggup menanggung risiko apapun, bahkan menjadi mengorbankan dirinya sekalipun untuk memastikan anak dan istrinya dalam kondisi baik-baik saja: Aman, tenteram, kenyang. 

Ia hanya berderai air mata melihat tangan kecil anaknya tertusuk  jarum infus, ditangani oleh dokter muda yang sedang praktikum, dengan peralatan seadanya. Ia hanya teriris hatinya melihat anaknya tak bisa bersekolah seperti anak-anak lainnya, dengan fasilitas yang sama, dengan metode pengajaran yang dikembangkan sekolah-sekolah masa kini. Lelaki berusaha memberikan perawatan terbaik untuk istrinya selama proses kehamilan dan melahirkan, sebagai ungkapan terima kasih telah mengandung darah dagingnya. Pria  selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi anak istrinya, meski ia tahu tak bisa membuat semuanya sempurna. 

Laki-laki selalu memiliki banyak rencana.Plan A, Plan B, Plan C, Plan D,dan seterusnya hingga emergency strategy. Laki-laki (sejati) juga selalu tertawa mendengar istilah Keluarga Berencana yang sampai saat ini masih didengung-dengungkan pemerintah. Apanya yang direncanakan? Tanpa diminta pemerintah pun, laki-laki selalu punya banyak rencana indah untuk keluarganya. Hari ini, rencana memiliki banyak anak adalah sebuah rencana gila. Bahkan berhubungan suami istri pun kini menjadi aktivitas “menakutkan”. Kekhawatiran laki-laki di masa ini bukan lagi penyakit ejakulasi dini,  tapi justru takut “jadi”!

Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2014 menyebutkan, dari total jumlah wanita atau ibu usia subur pengguna alat KB , persentasenya terus meningkat dari tahun ketahun.  Bahkan pada tahun 2014 mencapai 62,50%. Bahkan metode KB pada pria juga terus mengalami peningkatan, meski tak terlalu signifikan karena mungkin menyangkut urusan“kejantanan”. Dalam sebuah berita yang dirilis oleh Republika, Maret 2014 lalu, jumlah pria yang melakukan vasektomi bahkan tiga kali lebih banyak dari yang ditargetkan oleh BKKBN Yogyakarta.

BKKBN berhasil, kita tak bisa mengenyampingkan data tersebut di atas. Tapi apa benar  keiikutsertaan masyarakat benar-benar karena kesadaran dan implementasi dari jargon "Dua Anak Cukup". Apa benar ini karena keberhasilan pemerintah dalam menanamkan mindset bahwa keluarga kecil dan terencana bisa lebih menjamin keluarga bahagia? Apa betul ini keberhasilan pemerintah lewat BKKBN dalam menyosialisasikan penggunaan alat kontrasepsi yang benar? Kalau hanya masalah kontrasepsi, harus diakui anak-anak muda sekarang sungguh sudah sangat canggih dalam berimprovisasi”, bukan?

Mari memandang persoalan ini dari perspektif yang lebih luas. Keluarga berencana bukan hanya soal dua anak cukup dan pemasangan alat kontrasepsi yang benar. Jauh lebih besar dari itu, Program Keluarga Berencana yang digagas pemerintah Indonesia sudah seharusnya menyentuh esensi dan hal yang paling mendasar dalam kehidupan bernegara: Memastikan semua rakyat Indonesia sejahtera! Karena sesungguhnya keluarga sejahtera adalah sebaik-baiknya rencana. Selama harga rumah masih supermahal  dan suku bunga KPR begitu tinggi, sekolahan tak ubahnya seperti perusahaan yang menjadikan pendidikan sebagai bahan jualan, biaya kesehatan edan-edanan, BBM naik, tarif dasar listrik semakin mencekik, harga sembako bikin K.O., maka sesungguhnya program keluarga berencana telah sukses dilaksanakan. 

 Ada baiknya kita lupakan saja dulu Program Keluarga Berencana. Para pria  tak sempat memikirkannya karena sedang sibuk kerja, kerja, kerja, mengerahkan segala daya upaya dan berusaha semaksimal mungkin untuk memastikan keluarga kecilnya hidup sejahtera. Kita bicarakan lagi nanti, saat para lelaki  bisa benar-benar menikmati hubungan suami istri.

Image ini tidak ada kaitannya dengan tulisa di atas. Saya temukan dengan mengetik keyword "Ejakulasi Dini" di image.google.com. Siapa tahu bermanfaat, Daripada saya kasih gambar pisang, saru.

Tuesday, December 09, 2014

Kurio, Obat Edan!


 
Zaman Edan! Bahkan Jayabaya, Sang Raja Kediri yang mahsyur dengan ramalan-ramalannya -termasuk mengenai datangnya zaman edan- mungkin juga tak pernah menyangka bahwa zaman akan menjadi seedan ini. Ia mungkin tak akan membayangkan bahwa beratus-ratus tahun setelah masanya, perang tak lagi menggunakan keris, tombak, atau keahlian-keahlian yang bersifat gaib.

Sesakti apa pun Jayabaya, terawangannya mungkin tidak mampu menggambarkan bahwa pada zaman ini akan terjadi perang mahadahsyat, yang tidak lagi menggunakan kekuatan senjata atau hal-hal yang bersifat fisik lainnya, melainkan memakai teknologi informasi yang bernama internet yang “daya sihirnya” jauh lebih besar dibanding santet.

Perang yang mematikan tubuh sudah tak lagi musim, ndeso, so yesterday. Perang hari ini adalah perang pemikiran dan cara untuk memenangkannya adalah dengan meluncurkan bom-bom opini serta menembakkan rentetan tulisan dan pesan yang juga tak kalah mematikan dibanding senapan. Parameter kemenangannya juga bukan lagi berapa banyak “musuh” yang mati, tapi berapa banyak lawan yang hijrah menjadi kawan.

Semua orang pasti setuju bahwa dewasa ini sedang terjadi perang yang sangat dahsyat, kecuali dua golongan: Mereka yang tidak menyadari apa yang sedang terjadi, atau mereka yang masih belum punya koneksi internet. Eh, ada satu lagi: Mereka yang terkoneksi dengan internet tapi hanya digunakan untuk main poker online atau sekadar memantau berita-berita mengenai gaya terbaru Syahrini, aktivitas teranyar para pemeran sinetron Ganteng-Ganteng Serigala, atau semacamnya. Sebenarnya golongan ini juga termasuk golongan pertama yang tidak tahu bahwa yang sebenarnya terjadi adalah perang budaya. Agar anak-anak kita terbiasa menilai segala sesuatu secara material. Agar parameter kehidupan ideal yang ada dalam pikiran kaum muda kita menjadi superdangkal: Ganteng, cantik, tajir, dan bisa berpindah tempat dalam waktu sekejab... Wusshh!!

Perang ini memang terjadi di medan peperangan yang sangat luas dan bahkan tak terbatas. Sasaran tembaknya juga jauh di luar batas-batas teritorial, masuk ke aliran darah dan memengaruhi pola pikir kita. Kalau dulu kita banyak melihat tank, bazoka, kapal perang dan semacamnya, maka peralatan tempur paling efektif pada era perang kekinian adalah social media seperti Facebook, Twitter, Path, dan semacamnya (termasuk halaman ini) serta portal-portal berita yang dewasa ini menjamur bak ragi dalam proses pembuatan tempe.

Dulu, sebenarnya media-media massa termasuk portal-portal berita online ini menjadi semacam salah satu benteng pertahanan dalam era perang modern. Tapi apa lacur, banyak media-media massa kini justru menjadi bagian terintegrasi dari peperangan itu sendiri.

Banyak media menanggalkan fitrahnya sebagai penyeimbang, bersikap netral dan bertugas menjadi corong suara rakyat. Mereka berdiri pada positioning mereka masing-masing dan kemudian membuat medan-medan tempur yang sangat sengit di dunia maya. Arus informasi pun mengalir dengan sangat dahsyat bagaikan tsunami yang menerjang. Siapa saja yang tidak punya sensitifitas yang baik terhadap informasi-informasi yang datang bertubi-tubi dan tanpa jeda tersebut, maka merekalah sebaik-baiknya “tanah jajahan”.

Perang ini telah memakan banyak korban. Anda lihat bagaimana kita saling mencaci, mengejek, bermusuhan, dan bahkan hampir saling bunuh ketika pilpres kemarin berlangsung? Anda lihat bagaimana anak-anak muda kita sekarang hobi sekali bunuh diri hanya karena masalah-masalah percintaan yang tidak seindah kisah sinetron atau tak kuat menghadapi kenyataan bahwa ayahnya hanya seorang kuli panggul di pasar tradisional yang tak mampu membelikannya sepatu baru agar terlihat keren di mata teman-temannya? Anda lihat bagaimana agama beralih menjadi komoditas perdagangan yang sangat menggiurkan? Anda lihat bagaimana perubahan cara pandang kita terhadap Tuhan, nilai-nilai agama, dan budaya, serta cara memperlakukan dan menghormati orang tua? Anda lihat? Tidak? Anda tidak lihat? Anda tidak merasa kita sedang dalam situasi peperangan? Termasuk golongan manakah Anda?

Mau tidak mau, suka tidak suka, kita telah ada dalam kancah perang informasi ini, dan sebaik-baiknya pertahanan adalah imunitas kita sendiri. Bentuk imunisasi yang paling baik adalah dengan membaca sebanyak-banyaknya literatur, sebanyak-banyaknya berita, sebanyak-banyaknya informasi. Karena dengan begitu, kita dapat membandingkan antara satu source dengan source lain, kita bisa memahami dengan lebih baik, dan kemudian kita dapat menyimpulkan informasi mengenai isu tertentu menurut “nilai kebenaran” kita masing-masing. Karena pertahanan terbaik di masa ini adalah pengetahuan. Knowledge is power!Namun membandingkan satu sumber berita dengan sumber berita yang lain juga cukup merepotkan. Bagi pemakai smartphone misalnya, agaknya harus memberikan space lebih di memory-nya untuk meng-install banyak sekali aplikasi dari masing-masing portal berita. Pusing juga harus berkali-kali switch dari satu aplikasi dan aplikasi lainnya untuk mendapatkan berita pembanding agar informasi yang kita dapatkan lebih berimbang.

Di tengah kegalauan tersebut, hadir sebuah smart news application, Kurio yang merupakan aplikasi yang mengompilasi berita-berita dari berbagai portal berita. Kita bisa memilih portal-portal berita yang akan disuguhkan kepada kita, termasuk portal-portal yang selama ini secara gamblang mempunyai positioning (baca: kepentingan) berbeda. Dengan begitu, kita bisa membaca satu berita yang sama dengan angle yang berbeda dari beberapa portal berita. Buat saya pribadi, Kurio adalah semacam imunisasi yang akan menangkal berbagai “penyakit” dan membuat pikiran kita lebih terbuka dan terbiasa menilai sesuatu dengan lebih obyektif dan dalam perspektif yang lebih luas.

Yang juga sangat menarik, kita bisa melakukan filter mengenai apa-apa saja yang ingin kita baca dan tidak. Kurio memberikan peluang kepada kita untuk hanya memilih rubrikasi-rubrikasi atau tema yang menarik buat kita. Saya misalnya, memilih tema-tema politik (news), bisnis, otomotif, gadget, sports, dan “tema-tema pria” lainnya. Dengan meng-install Kurio, saya merasa sangat beruntung tidak lagi mendapati berita mengenai “Cara Mengetahui Sifat Wanita dari Cara Jalannya”, “Tips Agar Tahan Lama di Ranjang”, atau kasus perceraian Si Ini, Si Itu, dan lainnya dalam aplikasi berita di smartphone saya.

Selain itu, yang tidak bisa kita dapatkan dari aplikasi berita lainnya, kita akan mendapatkan notifikasi mengenai berita-berita terbaru pada smartphone kita meski kita tidak sedang membuka Kurio. Hanya saja, saya belum mengerti pertimbangan apa yang mendasari Kurio saat akan mengirim notifikasi kepada user-nya. Berita yang direkomendasikan dalam notifikasi memang masih berhubungan dengan tema yang saya pilih sebelumnya, tapi kapan notifikasi itu dikirim, itu yang belum jelas. Kadang saya terima, kadang tidak. Selain itu, terkadang berita pilihan Kurio yang dikirim tidak menarik bagi saya -meski masih dalam tema pilihan-. Dalam fitur ini, keahlian "Admin Kurio" dalam menebak selera pembacanya mungkin perlu dikaji kembali

Notifikasi lainnya juga kita terima ketika sedang membuka Kurio. Seringkali kita akan mendapatkan notifikasi “New Articles” yang menandakan ada informasi-informasi baru yang belum kita baca ketika pertama kali membuka Kurio.

Kurio punya banyak kelebihan, tapi juga punya beberapa kelemahan. Tentu saja kelebihan dan kelemahan itu bersifat sangat relatif, karena yang baik menurut saya, belum tentu baik menurut Anda. Salah satu yang bisa diperdebatkan dalam aplikasi kurio ini adalah tidak adanya peluang bagi kita untuk memberikan komen terhadap sebuah berita. Diakui atau tidak, budaya komentar ini agakya memang sudah mendarah daging dan jadi budaya kita. “Berbantah-bantahan” hari ini jadi sesuatu yang sangat mengasyikkan. Itulah sebabnya jadi agak aneh ketika Kurio tidak memberikan ruang komentar pada aplikasinya.

Alih-alih menjadi kelemahan, menurut saya itu justru jadi sebuah kelebihan, karena dengan tidak adanya ruang komen, kita tidak perlu merasa ‘tertekan” atau terpengaruh ketika pandangan kita tidak sejalan dengan arus utama yang terkadang tercermin (atau diciptakan oleh para “cyber troops” untuk kepentingan tertentu) dalam komen-komen tersebut. Toh, Kurio juga menyediakan panel khusus yang mengarahkan kita untuk masuk ke portal penulis berita tersebut. Di sana, kita bisa menuangkan komen kita. Kita tinggal klik panel “View Original Article” untuk menuju source aslinya. Yang patut dipuji, kita tak perlu switch aplikasi untuk masuk ke Kurio kembali. Cukup tekan panel “Back to Kurio” di bagian pojok kiri atas, done!

Selain itu, ada beberapa hal yang menurut saya cukup menggangu. Misalnya mengenai banyaknya judul-judul yang terputus. Bahkan ada yang terputus sambungan katanya seperti pada judul “Stephanie Roche, Wanita yang Bisa Cetak Sejarah Denga...”.  Di luar fitur-fitur tersebut, saya tidak akan membahas bagaimana cara meng-install Kurio karena rasanya seperti menganggap Anda semua adalah orang-orang gagap teknologi. Yang jelas, aplikasi ini sangat user friendly. Pengguna platform Android dan iOS akan dapat dengan mudah menjalani proses meng-install Kurio, meski memang ada beberapa tahap yang tidak Anda temui ketika meng-install aplikasi berita lainnya, berkaitan dengan beberapa fitur seperti pemilihan tema dan source berita yang tidak dihadirkan di aplikasi lainnya. Oh ya, aplikasi ini mempunyai desain antarmuka yang dinamis dengan pewarnaan yang sangat muda. Kita juga bisa memilih background bodytext yang sesuai dengan kenyamanan kita. Tak lupa, fitur standar tapi sangat penting juga ditanamkan: Share. Kita bisa membagi link berita ke berbagai aplikasi social media.
Yang membuat saya lebih semangat, aplikasi ini adalah asli buatan Indonesia: Merah Putih Inc. Saya "curiga" bahwa diluar kepentingan bisnis, ada semacam tanggung jawab sosial yang menjadi pertimbangan lahirnya aplikasi ini, yakni membuat masyarakat kita terhindar dari penyakit "edan" akibat serbuan informasi yang menggila ini. Menurut saya, saling berdebat, mencaci maki, dan bahkan saling membunuh karena sebuah berita adalah sebuah bentuk keedanan masa kini yang harus disudahi.

Akhirnya, semoga hadirnya Kurio bisa menjadikan pikiran kita lebih “imun” terhadap berbagai informasi yang mewabah ini. Membuat kita lebih peka terhadap sebuah isu, dan yang paling penting menyadarkan masyarakat bahwa kita sedang berada di sebuah era peperangan modern yang menuntut sensitifitas dalam mengkonsumsi sebuah berita. Lebih besar dari itu, saya berharap aplikasi lokal ini dapat mengembalikan kita semua pada semangat kebersamaan melalui proses pencerdasan, dimana pengetahuan adalah sebaik-baiknya kekuatan. Salam Merah Putih.

Saturday, March 08, 2014

Antara Aku, Kau, Ibumu, dan Mbah-Mbahmu (Surat untuk Azka -1)




Kepada Muhammad Raihan Azka, anakku
.
Hari ini aku menulis surat padamu. Teknologi internet akan menyimpan surat ini hingga suatu saat kau bisa membacanya, dan tahu betapa ibu dan bapakmu sangat mencintaimu. Ini adalah surat pertama untukmu. Semoga Allah memanjangkan umurku agar bisa membuat banyak tulisan, sebagai warisan.

Hal pertama yang ingin kusampaikan padamu, aku ingin kau sedini mungkin belajar mengenai salah satu hal terpenting dalam hidupmu: Mengenal identitas dan jatidirimu. Mengapa penting? Karena semua hal buruk yang dilakukan manusia adalah karena ia tak mengenal jatidirinya. Kelak kau bisa cari tahu apa maksudku.

Awal yang paling mudah untuk mengenali jatidirimu adalah dengan mengenal aku dan ibumu, orang tuamu. Bagaimana kami bertemu? Suatu saat jika umur kami panjang, akan kupertemukan kau dengan seseorang bernama Sony Yulianto, sahabatku. Ia tahu banyak tentang aku dan ibumu. Atau kau bisa langsung bertanya pada ibumu, hanya saja jangan benar-benar percaya padanya, karena ia cenderung memutarbalikkan fakta mengenai awal hubungan kami berdua: Siapa yang mengejar dan siapa yang dikejar. Hehe, aku bercanda. Aku dan ibumu sering sekali bercanda (dan bertengkar) seperti seorang sahabat.

Aku dan ibumu adalah pasangan yang saling melengkapi. Aku penuh pertimbangan, ibumu cenderung spontan. Ibumu pintar teori-teori agama, aku lebih sering berpikir dan mencari makna. Hobiku baca, ibumu suka menjelajah gunung dan rimba. Aku cenderung diam, ibumu suka sekali bercerita. Aku juara puisi, ibumu juara lomba lari. Makanku lama, ibumu selalu tampak berselera apapun menunya. Dalam hidup kami, Ibumu menarikku ketika aku terlalu lambat. Aku menghentikannya ketika ia mulai terlalu cepat.

Aku kurus, cenderung tinggi. Tulangku cenderung kecil. Gigiku tak rapi, gigi kelinci. Kulitku sawo matang, hidungku panjang. Sementara ibumu tak tinggi, tapi tulang-tulangnya cenderung kokoh. Kulitnya putih bersih, giginya rapi. Aku merasa makin hari ia makin cantik, terutama jika kerudung panjang menutupi tubuhnya. Satu-satunya yang sama dari aku dan ibumu adalah rambut kami yang ikal, tapi aku lebih dominan. Aku tak tahu kau lebih mirip siapa, tapi agaknya tulang-tulangmu kokoh, gen dari ibumu. Darahmu Jawa-Madura, karena bapakku Jawa, ibuku asli Madura. Orang tua ibumu dua-duanya Jawa.

Ibumu. Kau pasti sepakat bahwa ia cantik.



Hidupku lebih keras dari ibumu. Mbahmu, orang tuaku, berpisah saat aku berumur sekitar 12 tahun. Cukup itu saja yang perlu kau tahu. Sejujurnya aku lebih lega melihat mereka berpisah setelah apa yang kami lalui selama bertahun-tahun. Tak perlu kau tanya mengapa dan siapa yang salah. Semua sudah kukubur tanpa pusara. Aku tetap mencintai mereka berdua, seperti aku mencintai kau dan ibumu. Hanya saja, aku memang lebih menjaga perasaan Mbah bhinek-mu (Bhinek adalah bahasa Madura, artinya wanita). Kelak, kau juga harus begitu memperlakukan ibumu.

Perpisahan itu mengajariku tentang hidup, tentang perjuangan, tentang cinta. Aku, Budhemu Ida, dan Mbah Bhinek-mu sempat berpindah-pindah rumah, termasuk rumah kontrakkan di sebuah gang sempit dengan ukuran sekitar 5 X 8 meteran dimana cuma ada satu TV cicilan 14 inchi dan dua kasur saat kami pertama menempatinya. Keadaan yang cukup berbeda setelah apa yang selama ini kami punya.

Aku tak menyalahkan keadaan, apalagi menjadi pengecut dengan lari ke hal-hal bodoh seperti narkoba, alkohol, dll kemudian bersembunyi pada dalih keluarga broken home. Aku kuat, tak tahu kenapa, padahal cobaan kami, khususnya mbah Bhinek-mu sangat berat. Itu salah satu sebabnya mengapa aku benci sekali anak-anak muda bermental lemah. Menyalah-nyalahkan dan memaksakan keadaan orang tua serta merengek-rengek minta dibelikan sepatu bermerek, laptop, handphone, komputer tablet terbaru, sepeda motor, mobil, atau memakai narkoba, mabuk, dll hanya agar terlihat keren dan diterima di lingkungan pergaulannya.

Singkat cerita, aku menikahi ibumu ketika aku berumur 30 tahun. Ibumu delapan tahun lebih muda dariku. Ibumu pekerja kantoran, aku mantan wartawan yang dengan dukungan ibumu, memutuskan membuat sebuah perusahaan kecil, masih berhubungan dengan bidang media. Aku masih ingat betul kami menghitung budgeting sangat sederhana dan tradisional untuk memulai usaha itu di trotoar depan kantor ibumu, di bawah temaram sinar kuning keemasan lampu jalanan plus background musik yang berasal dari deru mesin kendaraan. Itu sejarah. Semoga saat kau membaca ini, usaha ini sudah menjadi lebih besar, menempati tempat usaha yang jauh lebih layak dan membawa manfaat bagi lebih banyak orang.

Lewat pekerjaanku inilah aku bisa memberi nafkah untuk kau dan ibumu. Sedikit-sedikit berusaha menyenangkan mbah-mbahmu, atau paling tidak, tidak membuat mereka mengkhawatirkan keluarga kecil kita. Biaya kelahiranmu juga dari pekerjaan ini. Aku bersyukur bisa memberi yang layak -meski mungkin bukan yang terbaik- bagi kalian berdua. Salah satu kebanggaan terbesarku sebagai bapak dan suami adalah ketika aku bisa memberikan perawatan yang layak -meski bukan yang terbaik- untuk ibumu ketika mengandung dan melahirkanmu.

Aku bekerja bersama beberapa anak-anak muda, rata-rata seumuran ibumu. Mereka anak-anak muda yang hebat. Selain kau, ibumu, dan keluarga besar kita, aku berjanji untuk berusaha memberikan yang terbaik bagi mereka. Aku berhutang banyak pada mereka, meski mereka mungkin tak merasa begitu. Ada banyak cetakan hasil pekerjaan kami yang bisa kau cari di rumah, sekadar agar kau bisa membayangkan apa yang telah kami kerjakan.


Aku dan anak-anak muda hebat di kantor mungil kami
Ibumu juga wanita yang hebat. Ia bekerja, membantuku. Karena itu ia harus memerah susu untukmu setiap saat, setiap sempat, meski kadang dalam keadaan setengah terpejam dan terjaga karena lelah. Itu sebabnya sampai saat ini aku tak perlu membeli susu formula untukmu. Kau mendapat yang terbaik dari ibumu. Berterima kasihlah padanya. Temukan sebanyak-banyaknya cara untuk itu, karena kau tak akan pernah bisa membalasnya. Tidak juga aku.

Bicara soal ibumu, aku ingin sedikit cerita tentang mbahmu, orang tua ibumu. Mereka yang menjaga dan merawatmu sedari lahir. Dari rumah sakit, kau pulang ke rumah mereka, rumah sederhana yang orang-orang di dalamnya hidup bahagia. Aku belajar tentang bahagia dari mereka. Mereka berkumpul hampir setiap malam di ruang tamu, tertawa bersama, dan bercerita mengenai banyak hal. Ibumu seringkali mendominasi sesi itu. Ia selalu punya banyak cerita.

Kadang kami ngobrol di teras rumah atau di akses antara ruang tamu dan bagian dalam rumah. Akses itu jalan selebar kira-kira setengah meter, agak susah jika ada dua orang lewat berbarengan di jalan itu, karena ada beberapa lemari juga berjejer di sana. Kami sering “ngerunthel” disana. Ada adik ibumu Lia, sepupu ibumu yang tinggal di rumah itu, Bayu. Ada juga beberapa saudara yang rumahnya berdekatan dengan rumah mbahmu. Mereka hampir setiap malam berkumpul. Orang-orang di rumah ini suka sekali bercerita.

Mbah Kakungmu bekerja di rumah. Di teras rumah yang ukurannya hanya sekitar 2 x 5 meteran, ada satu mesin jahit di sana. Ia punya usaha reparasi tas. Aku pernah sedikit berwacana agar ia mau membesarkan usahanya. Aku merasa ada peluang bisnis yang belum tergarap maksimal. Menurutku ia bisa mengambil beberapa pegawai agar kapasitas produksinya bisa makin besar, sehingga omzet dan keuntungannya juga jauh meningkat.

Tapi otak bisnisku yang “kedunyan” ini agaknya tak “gathuk” dengan jiwa “nriman” dan konsep tawakkal mbah kakungmu itu. Ia lebih memilih bekerja “seadanya”, salah satunya agar setiap waktu sholat tiba, ia bisa bergegas ke mushola, tidak disibukkan dengan urusan-urusan dunia. Ia biasa jadi imam sholat di sana. Aku belajar bab baru di rumah ini: Barokah.

Jangan salah dengan kalimatku “bekerja seadanya”. Mbah kakungmu itu mampu menyekolahkan ibu dan tantemu Lia sampai sarjana. Tantemu Lia juga mendapat fasilitas yang tak kalah dari anak-anak orang kaya, meski terkadang aku merasa fasilitas-fasilitas dan kemudahan mbahmu mengabulkan permintaannya membuat tantemu itu kurang “tangguh”.

Sama seperti mbah bhinek-mu, mbah kakungmu adalah semacam “tokoh kampung” yang sering diminta untuk memimpin pengajian di kampung mereka. Seperti pembacaan yasin tahlil, tasyakuran, dll. Mbah kakungmu juga mengajar anak-anak kecil mengaji seusai maghrib di mushola dekat rumah. Sementara mbah bhinekmu mengajar ibu-ibu di rumah . Sebelum menikah dan bekerja, ibumu juga membantu mbah kakungmu, mengajar anak-anak kampung memahami huruf hija’iyah.

Selain aku dan ibumu serta mbah bhinekmu, Mbah kakung dan mbah puterimu lah orang yang paling berjasa dalam hidupmu. Mereka lebih sering menyeka dan membersihkan pipis dan e’ek-mu dibanding aku dan ibumu. Mereka menjagamu setiap hari karena aku dan ibumu harus bekerja. Kau tinggal di rumah mereka karena mbah bhinekmu sudah cukup sepuh. Sementara kami, orang tuamu, tak cukup becus mengurus segala keperluanmu.  


Kau, Mbah Kakung dan Mbah Puterimu. 

Sampai tulisan ini aku buat, kau masih tinggal disana. Aku dan ibumu masih berusaha keras menabung mengumpulkan uang muka untuk membeli sebuah rumah. Tak perlu besar, mungil saja, asal penuh cinta. Kami ingin rumah itu nanti ada di dekat rumah bhinekmu. Ia sudah cukup sepuh, kami ingin dekat dan bisa selalu menjaganya. Sementara mbah kakungmu dan mbah puterimu masih relatif muda. Umur mbah puterimu masih sekitar 45 tahun-an. Dari segi umur, masih termasuk kategori anak mbah bhinekmu. Sebagai bayanganmu, saat kutulis surat ini, umurku 32 tahun. Hanya selisih 13 tahun dari mbah puterimu, mertuaku.

Berbeda dengan suasana rumah mbah kakung dan mbah puteri dimana kau dirawat saat ini, rumahku cenderung lebih “serius”. Mbah bhinekmu, aku, dan budhemu Ida termasuk orang-orang pendiam. Kami tak banyak ngobrol. Ngobrol, tapi tak banyak. Aku lebih sering membaca dan menonton TV, budhemu Ida rajin menulis diary saat remaja, sementara mbah bhinekmu lebih sering sibuk di meja kecilnya. “Nulis-nulis”, begitu istilah yang sering dipakainya.

Selain memasak, Mbah bhinekmu memang hobi sekali menulis. Apapun ditulisnya, termasuk apa-apa saja yang akan dan telah dilakukannya. Aku juga sering sekali mendapat surat-surat kecil di meja makan, sekadar memberitahu bahwa ia pergi ke gang sebelah untuk membeli sesuatu. “Ini ada soto, makan ya, enak. Ibu ke Bu Parwo sebentar,” begitu kira-kira salah satu surat di kertas kecil yang kuingat. Rasanya aku mewarisi bakat menulis darinya. Oh ya, ia juga menulis surat untukmu. Surat pertamamu darinya adalah ketika kau belum berumur satu tahun. Hebat, bukan? Begitu sayang dan bangganya ia padamu, ia yakin kau anak yang supercerdas dan mampu membaca suratnya ketika gigimu baru berjumlah enam buah. Bukankah sekarang aku juga melakukannya? Beda, aku menulis surat ini untuk kau baca setelah kau benar-benar bisa membaca dalam arti sebenarnya dan memahami dengan baik.

Surat dari Mbah Bhinekmu untukmu, saat kau masih berumur 10 bulan.


Kau dan wanita-wanita dalam hidupku, selain ibumu. Mbah bhinek dan Budhemu
Aku dan mbah bhinekmu punya selera yang sama. Lidah kami sama-sama penyuka citarasa gurih, seperti umumnya orang-orang Madura. Kami sama-sama mudah tersinggung, juga khas orang Madura. Kami sama-sama suka membaca koran dan menonton acara-acara berita. Mbah bhinekmu sampai sekarang masih sering bertanya padaku, “Yo opo pendapatmu, le?”. Kami sering berdiskusi, tapi sekarang ia lebih sering hanya meminta pendapatku tanpa banyak “melawan”. Ia sudah cukup sepuh, analisanya sudah tak tajam.

Mbah Bhinekmu orang hebat. Ia pensiunan pegawai negeri. Ia pintar, sarjana. Menjadi sarjana di awal tahun 1970-an sama sekali bukan hal mudah dan tak semua orang bisa mendapatkannya. Beda dengan masaku, jadi sarjana sudah sangat biasa. Mudah, asal punya uang, tak perlu pintar. Buktinya aku. Aku tak pintar, tapi sarjana.

Mbah Bhinekmu juga sangat mandiri, karakternya keras tapi hatinya lembut, khas orang Madura. Aku menghormatinya. Salah satu buktinya bisa kau lihat dari caramu memanggilku dan ibumu: Abi dan Ummi. Mbah bhinekmu yang menyuruh begitu. Katanya agar suatu saat aku dan ibumu kami bisa naik haji. Agak tidak jelas relevansinya, katanya panggilan adalah doa. Tapi biarlah, asal ia bahagia, walau sejujurnya aku lebih senang kau memanggil kami bapak dan ibu. Lebih membumi rasanya.

Kau juga pasti ingin tahu tentang bapakku, yang juga mbah kakungmu. Sudah banyak orang bilang kau mirip dengan mbah kakungmu itu. Terkadang aku juga merasa begitu, terutama bentuk kepalamu dan rambutmu yang jarang di bagian belakang.

Mbah kakungmu juga pensiunan pegawai negeri. Agaknya karirnya cukup sukses. Beberapa orang bercerita, Ketika aku seumuranmu, sekitar awal tahun 1980-an, rumah kami sering didatangi tetangga yang ingin nonton televisi berwarna. Di kampung kami, hanya mbah kakungmu yang punya. Aku juga pernah melihat foto mobil terparkir di depan rumah kami. Kalau tak salah, Mitsubhisi Colt L-300. Cobalah googling jika kau ingin tahu bentuknya, karena sepertinya mobil itu mungkin sudah tidak ada di saat kau membaca surat ini.

Ia punya banyak kekurangan, tapi juga punya banyak kelebihan, sama seperti aku, ibumu, dan mbah-mbahmu lainnya. Tapi yang pasti, ia selalu berusaha memberikan terbaik bagi aku dan budhemu. Ia menjemputku dan budhemu setiap kami pulang sekolah. Ia bahkan memaksa mengantarku ke luar kota ketika aku melamar kerja, saat aku sudah dewasa. Sampai sekarang ia masih sering menanyakan kabarku, kau, dan ibumu. Juga masih sering sekali menelpon hanya sekadar menanyakan pekerjaanku, memastikan semua baik-baik saja. Minggu lalu ia masih mengantar budhemu ke dokter, dll. Perhatiannya luar biasa bahkan sampai usianya senja. Aku mencintainya, sama seperti aku mencintai kau, ibumu, mbah bhinekmu, dan mbah kakung serta mbah puteri dari ibumu.

Ia sosok yang tangguh. Badannya relatif besar, agak temperamental. Tapi seumur hidupku, ia tak pernah sekalipun memukulku. Sampai sekarang, di saat umurnya hampir 70, ia masih terlihat keren dan gagah, meski kulit yang mengeriput termakan usia memang tak bisa diedit di photoshop atau teknologi lainnya. Baju-bajunya lebih bagus dari bajuku. Jam tangannya bermerek, sepatunya bagus, jaketnya kulit, rambutnya klimis. Sampai sekarang, beberapa barangnya seperti baju, jaket, dan sandal masih suka aku “curi” darinya. Aku pinjam, tapi tak pernah kukembalikan.

Barang-barangnya adalah barang-barang terbaik di kelasnya. Ia menginap di hotel berbintang, makan di restoran mahal, pelesir di tempat-tempat bagus. Sebenarnya menurutku ia tak kaya, biasa saja. Hanya saja “tongkrongannya” memang istimewa. Ia royal, murah hati, dan ringan tangan.

Sahabat-sahabatku banyak yang “berteman” dengannya. Mereka menganggapnya bapak gaul. Di mata tetangga, mbah kakungmu adalah sosok yang disuka. Ia “kepala suku” yang menggagas acara sahur bersama di kampung. Bukan buka bersama, tapi sahur bersama. Satu kampung keluar jam 3 pagi buta untuk makan bersama, atas inisiatifnya. Anehnya semua menurut padanya, bukan karena terpaksa. Ia dihormati sekaligus disukai.

Tapi mbah kakungmu bukan sosok materialistis, ia tetap bersahaja. Ia tak canggung naik motor Star 86 miliknya, tapi juga terlihat sangat pantas di belakang kemudi mobilnya. Salah satu hal terbaik yang aku belajar darinya adalah “menjaga keseimbangan”. Kini, saat “masa-masa jayanya” telah lewat, ia tetap biasa saja. Tidak “post power syndrome”. Sekarang ia juga sudah mulai mau “kutraktir”. Beberapa tahun lalu, sangat sulit mewujudkan keinginanku untuk sedikit menunjukkan baktiku padanya. Ia sama sekali tak mau merepotkanku, sama seperti orang tua pada umumnya.

Mbah kakungmu menikah lagi. Kau punya beberapa om dan tante lainnya. Kami sering bertemu, selayaknya saudara. Sekarang, mbah kakungmu hidup bersama seorang wanita yang kami panggil Mami. Mami tak menggantikan siapa-siapa dan mendapat bagiannya sendiri di hatiku dan budhemu. Jangan tanya porsinya. Sama seperti ketika ibumu hadir dalam hidupku, ibumu tak menggantikan mbah bhinekmu. Aku tak bisa menjawab berapa prosentase cintaku pada ibumu dan berapa persen yang “tersisa” untuk mbah mbinekmu setelah dibagi dengan ibumu. Itu pertanyaan bodoh. 

Mbah kakungmu dan Masmu Izan, anak Budhemu

Kau dan Mbah Kakungmu. Rasanya memang mirip.
Azka...., apa yang kupaparkan di atas adalah identitas yang tak dapat kau ubah. Given! Kau lahir dari rahim ibumu, aku bapakmu, mereka mbah-mbahmu, ciri-ciri tubuhmu, semua adalah identitas yang melekat secara otomatis pada dirimu. Given. Tak bisa kau tolak, tak bisa kau ubah.

Setelah identitas pemberian Allah itu, ada identitas buatanku dan ibumu. Kami jadikan kau Islam. Aku adzan di telinga kananmu, iqomat di kuping kirimu. Kami beri kau nama Muhammad Raihan Azka. Raihan artinya wewangian surgawi, Azka berarti bersih atau suci. Muhammad? Aku yakin kau telah mengenal “Sang Cahaya” itu saat membaca surat ini. Kau kemudian pulang ke sebuah alamat yang juga jadi identitasmu. Kau jadi penduduk dari suatu wilayah, dan lain-lain, dan lain-lain.

Identitas yang aku dan ibumu berikan itu sifatnya sementara, temporary, dan dapat kau ubah kelak ketika kau telah mempunyai pemahaman dan kemampuan berpikir yang baik. Kelak kau bisa memilih jadi warna negara bagian bumi manapun yang kau mau. Kau bisa mengubah namamu menjadi Richardo Lewis, Dewa Biru Laut Semesta, atau apapun yang kau mau. Bahkan kau pun mungkin memilih keyakinan yang kau anggap paling benar (Semoga Allah menetapkan Iman dan Islam-mu sampai akhir hayat lewat ikhtiarku dan ibumu). Apakah identitas yang kami diberikan harus kau ubah? Tidak juga. Kau tetap bisa mempertahankan identitas yang diberikan orang tuamu itu, jika kau mau.

Penentuan identitasmu itu akan berjalan dalam jangka waktu yang sangat lama. Bahkan sampai akhir hayatmu kelak. Kau akan menentukan ungiven identity-mu sendiri. Kau akan membangun idealisme-idealismemu sendiri. Kau akan menentukan benar dan salah menurut pemahaman yang kau yakini. Tugasku dan ibumu adalah mendorong agar kau jadi sosok IDEALIS, BERANI MEMILIH dan mempunyai REASON atas identitas yang kau pilih. Kau harus idealis. Orang-orang yang tak idealis adalah orang-orang pengecut yang pilih aman, atau memang tak terlalu pintar karena tak mau belajar. Kau harus jadi anak pintar.

Kau tak boleh jadi anak alay yang tak punya idealisme dan tak paham identitasmu sendiri. Yang memotong rambutmu model spikey, penuh tato dan atribut-atribut punk agar terlihat keren tapi sama sekali tak punya pemahaman tentang kapitalisme yang menginjak kaum marjinal. Kau boleh memanjangkan jenggotmu, berjubah, dan melinting celanamu semata kaki, sepanjang dapat memberikan REASON mengapa kau melakukannya. Kau harus tahu siapa dirimu. Kau harus tahu kapan hanyut dan kapan melawan arus.

Untuk memiliki reason atas sebuah identitas atau idealisme, kau harus belajar. “Bacalah”, berpikirlah... Proses belajar itu lah yang kemudian membuatmu jadi dewasa, mengerti dan bertanggung jawab atas pilihanmu. Proses belajar juga akan membuatmu menghargai pilihan dan identitas orang lain. Kau akan paham bahwa pilihan idealisme seseorang juga memerlukan proses pemikiran dan memiliki reason (kecuali mereka yang tidak melakukannya). Kau juga akan mengerti bahwa orang-orang yang tidak dapat menghargai idealisme dan identitas orang lain adalah orang-orang alay yang tak pernah belajar identitasnya sendiri.

Azka, surat ini adalah salah satu ikhtiarku untuk mendidikmu. Membuatmu menjadi sosok tangguh. Mendidikmu adalah kewajibanku. Aku tak akan bosan-bosan membuat tulisan-tulisan untukmu, kau jangan bosan-bosan membaca tulisan-tulisanku. Aku masih punya banyak cerita untukmu.

Cukuplah surat pertama ini, semoga kau menikmati “metode pembelajaran” yang kupilih. Selamat ulang tahun, anakku. Aku tak punya kado apa-apa untukmu, hanya tulisan dan video pendek sebagai kenang-kenangan. Pesanku, yang akan aku ulang setiap kali aku menulis surat untukmu: Kelak jika aku dan ibumu telah meninggalkanmu, aku minta kau melakukan tiga hal: Doakan kami di setiap sholatmu, doakan kami di setiap sholatmu, dan doakan kami di setiap sholatmu. Kami akan teramat sangat butuh itu. Itu wasiatku.




Surabaya, 8 Maret 2014
(Dua hari sebelum ulang tahun pertamamu)
Aku yang menyayangimu,
Bapak alias Abi.





    

    

Saturday, July 02, 2011

Tentang (Blog) Saya


Selamat berjumpa kembali. Setelah tidak menulis untuk blog ini selama berbulan-bulan lamanya, agaknya saya harus sadar diri bahwa saya bukan penulis yang baik. Seorang penulis yang baik akan menulis seperti ia menghirup udara. Ia butuh menulis, kapan pun, dimana pun.

Saya tidak seperti itu. Saya membutuhkan cukup rangsangan untuk akhirnya memutuskan menulis. Kadang terangsang, tapi tetap juga tidak menulis.

Kenapa begitu? Karena saya menulis di blog ini bukan untuk orang lain, tapi untuk diri saya sendiri. Jadi kalau tidak ada yang membaca tulisan ini, ya tidak apa-apa, karena sebenarnya saya memang sedang berbicara dengan diri saya sendiri. Tapi bulshit lah kalau saya tidak senang jika banyak yang membaca tulisan saya, karena kalau ada orang lain yang menikmati pembicaraan saya dengan diri saya sendiri, ya itu kesenangan dan kebanggaan tersendiri.

Lalu apa perlunya bicara pada diri sendiri? Jawabnya adalah untuk menertawakan diri sendiri. Banyak sekali tulisan saya yang sebenarnya merefleksikan kebodohan dan ketidaktahuan saya akan banyak hal. Tentang Tuhan, tentang hidup, tentang cinta, tentang apa saja. Setelah menulis, saya sering kali baru sadar bahwa yang saya olok-olok dalam tulisan saya itu adalah saya sendiri. Lalu tertawalah saya pada diri sendiri.

Dengan menulis, saya belajar bahwa ada begitu banyak hal yang harus saya lakukan. Ada banyak hal yang harus saya pikirkan dan segera harus dimengerti. Saya jadi menyadari bahwa saya tidak tahu apa-apa tentang Tuhan, saya tidak tahu apa-apa tentang hidup, saya tidak tahu apa-apa tentang cinta, dan bahkan saya tidak tahu apa-apa tentang diri saya sendiri. Karena sering kali saya baru menyadari kekurangan diri sendiri setelah selesai menulis!

Coba lihat tulisan berjudul “Transportasi dan Transformasi Budaya”, “Realita Cinta, (Pipis) dan Rock & Roll”, “Rindu, Keju, dan Bokong”, “Tebak Nama”, “Big Match: Setan vs Malaikat Kebaikan”, “Bawakan Aku Surat Cinta”, “Cerita Berambut”, dll. Itu semua adalah cara saya menertawakan diri saya sendiri.

Yang saya olok-olok sebagai orang yang tak pernah sholat jamaah Shubuh di majid dekat rumah dalam “Transportasi dan Transformasi Budaya” itu ya saya. Yang tidak dapat menggunakan logika dan mengedepankan nafsu dalam “Realita Cinta, (Pipis) dan Rock n’ Roll”, ya saya ini. Yang tidak menyadari bahwa umur itu begitu cepat berjalan dan tidak menyadari bahwa kematian semakin dekat setiap detiknya dalam “Bawakan Aku Surat Cinta”, ya saya… iya, saya…, kamuu!! Ya kamuu, Diazzz!!!!!!

Hhh… baiklah. Cukup sudah obrolan dengan saya. Sebenarnya saya ingin berbicara lebih banyak dengan diri saya sendiri tentang sebuah hal. Tapi, saya harus berkompromi dengan diri sendiri juga. Makan, lalu istirahat. Selamat malam untuk diri saya sendiri, dan mungkin beberapa teman dan kerabat yang mampir ke blog ini.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites