Zaman Edan! Bahkan Jayabaya, Sang Raja Kediri yang mahsyur dengan ramalan-ramalannya -termasuk mengenai datangnya zaman edan- mungkin juga tak pernah menyangka bahwa zaman akan menjadi seedan ini. Ia mungkin tak akan membayangkan bahwa beratus-ratus tahun setelah masanya, perang tak lagi menggunakan keris, tombak, atau keahlian-keahlian yang bersifat gaib.
Sesakti apa pun Jayabaya, terawangannya mungkin tidak mampu menggambarkan bahwa pada zaman ini akan terjadi perang mahadahsyat, yang tidak lagi menggunakan kekuatan senjata atau hal-hal yang bersifat fisik lainnya, melainkan memakai teknologi informasi yang bernama internet yang “daya sihirnya” jauh lebih besar dibanding santet.
Perang yang mematikan tubuh sudah tak lagi musim, ndeso, so yesterday. Perang hari ini adalah perang pemikiran dan cara untuk memenangkannya adalah dengan meluncurkan bom-bom opini serta menembakkan rentetan tulisan dan pesan yang juga tak kalah mematikan dibanding senapan. Parameter kemenangannya juga bukan lagi berapa banyak “musuh” yang mati, tapi berapa banyak lawan yang hijrah menjadi kawan.
Semua orang pasti setuju bahwa dewasa ini sedang terjadi perang yang sangat dahsyat, kecuali dua golongan: Mereka yang tidak menyadari apa yang sedang terjadi, atau mereka yang masih belum punya koneksi internet. Eh, ada satu lagi: Mereka yang terkoneksi dengan internet tapi hanya digunakan untuk main poker online atau sekadar memantau berita-berita mengenai gaya terbaru Syahrini, aktivitas teranyar para pemeran sinetron Ganteng-Ganteng Serigala, atau semacamnya. Sebenarnya golongan ini juga termasuk golongan pertama yang tidak tahu bahwa yang sebenarnya terjadi adalah perang budaya. Agar anak-anak kita terbiasa menilai segala sesuatu secara material. Agar parameter kehidupan ideal yang ada dalam pikiran kaum muda kita menjadi superdangkal: Ganteng, cantik, tajir, dan bisa berpindah tempat dalam waktu sekejab... Wusshh!!
Perang ini memang terjadi di medan peperangan yang sangat luas dan bahkan tak terbatas. Sasaran tembaknya juga jauh di luar batas-batas teritorial, masuk ke aliran darah dan memengaruhi pola pikir kita. Kalau dulu kita banyak melihat tank, bazoka, kapal perang dan semacamnya, maka peralatan tempur paling efektif pada era perang kekinian adalah social media seperti Facebook, Twitter, Path, dan semacamnya (termasuk halaman ini) serta portal-portal berita yang dewasa ini menjamur bak ragi dalam proses pembuatan tempe.
Dulu, sebenarnya media-media massa termasuk portal-portal berita online ini menjadi semacam salah satu benteng pertahanan dalam era perang modern. Tapi apa lacur, banyak media-media massa kini justru menjadi bagian terintegrasi dari peperangan itu sendiri.
Banyak media menanggalkan fitrahnya sebagai penyeimbang, bersikap netral dan bertugas menjadi corong suara rakyat. Mereka berdiri pada positioning mereka masing-masing dan kemudian membuat medan-medan tempur yang sangat sengit di dunia maya. Arus informasi pun mengalir dengan sangat dahsyat bagaikan tsunami yang menerjang. Siapa saja yang tidak punya sensitifitas yang baik terhadap informasi-informasi yang datang bertubi-tubi dan tanpa jeda tersebut, maka merekalah sebaik-baiknya “tanah jajahan”.
Perang ini telah memakan banyak korban. Anda lihat bagaimana kita saling mencaci, mengejek, bermusuhan, dan bahkan hampir saling bunuh ketika pilpres kemarin berlangsung? Anda lihat bagaimana anak-anak muda kita sekarang hobi sekali bunuh diri hanya karena masalah-masalah percintaan yang tidak seindah kisah sinetron atau tak kuat menghadapi kenyataan bahwa ayahnya hanya seorang kuli panggul di pasar tradisional yang tak mampu membelikannya sepatu baru agar terlihat keren di mata teman-temannya? Anda lihat bagaimana agama beralih menjadi komoditas perdagangan yang sangat menggiurkan? Anda lihat bagaimana perubahan cara pandang kita terhadap Tuhan, nilai-nilai agama, dan budaya, serta cara memperlakukan dan menghormati orang tua? Anda lihat? Tidak? Anda tidak lihat? Anda tidak merasa kita sedang dalam situasi peperangan? Termasuk golongan manakah Anda?
Mau tidak mau, suka tidak suka, kita telah ada dalam kancah perang informasi ini, dan sebaik-baiknya pertahanan adalah imunitas kita sendiri. Bentuk imunisasi yang paling baik adalah dengan membaca sebanyak-banyaknya literatur, sebanyak-banyaknya berita, sebanyak-banyaknya informasi. Karena dengan begitu, kita dapat membandingkan antara satu source dengan source lain, kita bisa memahami dengan lebih baik, dan kemudian kita dapat menyimpulkan informasi mengenai isu tertentu menurut “nilai kebenaran” kita masing-masing. Karena pertahanan terbaik di masa ini adalah pengetahuan. Knowledge is power!Namun membandingkan satu sumber berita dengan sumber berita yang lain juga cukup merepotkan. Bagi pemakai smartphone misalnya, agaknya harus memberikan space lebih di memory-nya untuk meng-install banyak sekali aplikasi dari masing-masing portal berita. Pusing juga harus berkali-kali switch dari satu aplikasi dan aplikasi lainnya untuk mendapatkan berita pembanding agar informasi yang kita dapatkan lebih berimbang.
Di tengah kegalauan tersebut, hadir sebuah smart news application, Kurio yang merupakan aplikasi yang mengompilasi berita-berita dari berbagai portal berita. Kita bisa memilih portal-portal berita yang akan disuguhkan kepada kita, termasuk portal-portal yang selama ini secara gamblang mempunyai positioning (baca: kepentingan) berbeda. Dengan begitu, kita bisa membaca satu berita yang sama dengan angle yang berbeda dari beberapa portal berita. Buat saya pribadi, Kurio adalah semacam imunisasi yang akan menangkal berbagai “penyakit” dan membuat pikiran kita lebih terbuka dan terbiasa menilai sesuatu dengan lebih obyektif dan dalam perspektif yang lebih luas.

Selain itu, yang tidak bisa kita dapatkan dari aplikasi berita lainnya, kita akan mendapatkan notifikasi mengenai berita-berita terbaru pada smartphone kita meski kita tidak sedang membuka Kurio. Hanya saja, saya belum mengerti pertimbangan apa yang mendasari Kurio saat akan mengirim notifikasi kepada user-nya. Berita yang direkomendasikan dalam notifikasi memang masih berhubungan dengan tema yang saya pilih sebelumnya, tapi kapan notifikasi itu dikirim, itu yang belum jelas. Kadang saya terima, kadang tidak. Selain itu, terkadang berita pilihan Kurio yang dikirim tidak menarik bagi saya -meski masih dalam tema pilihan-. Dalam fitur ini, keahlian "Admin Kurio" dalam menebak selera pembacanya mungkin perlu dikaji kembali
Notifikasi lainnya juga kita terima ketika sedang membuka Kurio. Seringkali kita akan mendapatkan notifikasi “New Articles” yang menandakan ada informasi-informasi baru yang belum kita baca ketika pertama kali membuka Kurio.
Kurio punya banyak kelebihan, tapi juga punya beberapa kelemahan. Tentu saja kelebihan dan kelemahan itu bersifat sangat relatif, karena yang baik menurut saya, belum tentu baik menurut Anda. Salah satu yang bisa diperdebatkan dalam aplikasi kurio ini adalah tidak adanya peluang bagi kita untuk memberikan komen terhadap sebuah berita. Diakui atau tidak, budaya komentar ini agakya memang sudah mendarah daging dan jadi budaya kita. “Berbantah-bantahan” hari ini jadi sesuatu yang sangat mengasyikkan. Itulah sebabnya jadi agak aneh ketika Kurio tidak memberikan ruang komentar pada aplikasinya.
Alih-alih menjadi kelemahan, menurut saya itu justru jadi sebuah kelebihan, karena dengan tidak adanya ruang komen, kita tidak perlu merasa ‘tertekan” atau terpengaruh ketika pandangan kita tidak sejalan dengan arus utama yang terkadang tercermin (atau diciptakan oleh para “cyber troops” untuk kepentingan tertentu) dalam komen-komen tersebut. Toh, Kurio juga menyediakan panel khusus yang mengarahkan kita untuk masuk ke portal penulis berita tersebut. Di sana, kita bisa menuangkan komen kita. Kita tinggal klik panel “View Original Article” untuk menuju source aslinya. Yang patut dipuji, kita tak perlu switch aplikasi untuk masuk ke Kurio kembali. Cukup tekan panel “Back to Kurio” di bagian pojok kiri atas, done!

Yang membuat saya lebih semangat, aplikasi ini adalah asli buatan Indonesia: Merah Putih Inc. Saya "curiga" bahwa diluar kepentingan bisnis, ada semacam tanggung jawab sosial yang menjadi pertimbangan lahirnya aplikasi ini, yakni membuat masyarakat kita terhindar dari penyakit "edan" akibat serbuan informasi yang menggila ini. Menurut saya, saling berdebat, mencaci maki, dan bahkan saling membunuh karena sebuah berita adalah sebuah bentuk keedanan masa kini yang harus disudahi.
Akhirnya, semoga hadirnya Kurio bisa menjadikan pikiran kita lebih “imun” terhadap berbagai informasi yang mewabah ini. Membuat kita lebih peka terhadap sebuah isu, dan yang paling penting menyadarkan masyarakat bahwa kita sedang berada di sebuah era peperangan modern yang menuntut sensitifitas dalam mengkonsumsi sebuah berita. Lebih besar dari itu, saya berharap aplikasi lokal ini dapat mengembalikan kita semua pada semangat kebersamaan melalui proses pencerdasan, dimana pengetahuan adalah sebaik-baiknya kekuatan. Salam Merah Putih.
Akhirnya, semoga hadirnya Kurio bisa menjadikan pikiran kita lebih “imun” terhadap berbagai informasi yang mewabah ini. Membuat kita lebih peka terhadap sebuah isu, dan yang paling penting menyadarkan masyarakat bahwa kita sedang berada di sebuah era peperangan modern yang menuntut sensitifitas dalam mengkonsumsi sebuah berita. Lebih besar dari itu, saya berharap aplikasi lokal ini dapat mengembalikan kita semua pada semangat kebersamaan melalui proses pencerdasan, dimana pengetahuan adalah sebaik-baiknya kekuatan. Salam Merah Putih.
0 comment:
Post a Comment