Sungguh berat menjadi laki-laki di negeri ini. Kalau saja
ukuran laki-laki hanya memakai parameter otot bisep yang mengembang, dada yang
bidang, atau seberapa besar peluang untuk menjatuhkan lawan, tentulah menjadi
laki-laki dapat dengan mudah diraih, atau paling tidak bisa dilatih.
Tapi sungguh menjadi laki-laki jauh lebih sukar dibanding
sekadar memiliki tubuh kekar. Sedari kecil, laki-laki selalu didoktrin
sebagai pemikul beban. Pria-pria kecil
selalu disiapkan oleh para orang tua untuk menjadi pemimpin, pelindung, dan
pengambil keputusan. Ketika jatuh tak boleh menangis, karena ia laki-laki. Saat
bermain harus mengalah pada yang lemah, karena ia laki-laki. Beranjak remaja,
ia harus yang pertama kali menyatakan cinta, karena ia pria. Ketika hendak menyeberang jalan, ia harus bersedia
memosisikan diri untuk tertabrak duluan.
Ketika dewasa, soal ujian para lelaki tak berhenti, malah menjadi-jadi.
Mau melamar pacar, kerjamu apa? Bagaimana mungkin calon mertua melepaskan anak
wanitanya pada pria yang tak jelas masa
depannya? Mau diberi makan apa? Mau
tinggal dimana? Tahukah kamu, hai calon menantu, harga properti begitu gila. Di
kota besar seperti Surabaya, misalnya, harga rumah sama absurdnya dengan
sinetron Ganteng- Ganteng Serigala. Rumah 5 X 10 meter yang ketika kita membuka
pintu utama langsung bisa melihat tembok paling belakang, harganya bisa Rp 400
juta. Laki-laki harus rajin membaca
berita ekonomi, agar tahu fluktuasi bunga yang begitu tinggi. Laki-laki harus
menyiapkan daya tahan selama belasan atau bahkan puluhan tahun ke depan, dimana
tiba-tiba cicilan bisa naik signifikan.
Para pria yang akan masuk ke jenjang menikah juga dihadapkan
pada begitu banyak tantangan lainnya,
dimana kredibiltasnya sebagai laki-laki dipertaruhkan. Soal kawin soal gampang,
mudah, tapi nanti ketika Sang Buah Hati sudah dikandung istri, berapa biaya
yang harus dipersiapkan untuk memastikan sebagian tulang rusuk kita itu berada
dalam perawatan dokter berpengalaman, tidak tidur di kasur tipis setelah
berjuang mati-matian, di sebuah bangsal rumah sakit yang kumuh?
Next, ketika anak sudah lahir, laki-laki harus mengatasi
segala kondisi gawat darurat, termasuk jika Si Kecil jatuh sakit. Berapa biaya
rumah sakit di jaman ini? Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar
premi asuransi mengingat kondisi gawat darurat dapat datang setiap saat.
Laki-laki harus selalu memastikan anak istrinya mendapatkan penanganan
terbaik.
Rumit, bukan? Belum. BBM dan tarif dasar listrik yang terus
melambung membuat harga kebutuhan pokok juga terkerek. Biaya kebutuhan hidup
tak bisa tak bisa diundur seperti mekanisme pencairan BG mundur. Apalagi di
jaman sekarang yang kebijakannya cenderung liberal. Bagaimana mungkin BBM,
listrik, dan hal lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak diserahkan pada
mekanisme pasar? Naik dan turun mengikuti nilai tukar rupiah dan harga minyak
dunia. Jadi misalnya, seperti kejadian beberapa saat lalu dimana Rusia dan
Turki bersitegang, kita harus ikut tegang karena konflik dua negara nun jauh di
sana itu berpotensi memengaruhi naiknya harga minyak dunia, dan itu berarti harga
BBM dan listrik di negara kita akan naik juga. Jangan heran juga kalau semisal
The Fed (Bank Sentral Amerika) menaikkan suku bunga, maka nilai tukar rupiah
turun. Akibatnya: BBM dan listrik akan sangat mungkin naik juga.
Tapi kalau minyak mentah dunia turun kan BBM kan juga turun
seperti awal 2016 ini? Iya, tapi coba lihat grafiknya. Tahun 2011 Harga
terendah minyak mentah dunia adalah USD 102, saat itu premium dijual Rp 4.500.
Tahun 2015, harga minyak mentah dunia USD 36,3, dan harga premium Rp
7.400. Terlihat grafiknya? Tidak? Tapi sudahlah,
masalahnya sebenarnya bukan naik atau turunnya, tapi penerapan
kebijakan neo-liberal. Saya setuju jika subsidi BBM dicabut dan khusus
diberikan pada yang berhak, yang lain harus minimal pertamax. Setuju. Tapi
mendasarkan kenaikan dan penurunan BBM dan listrik dengan menyerahkannya pada
mekanisme pasar? Rrrrrr.....
Oke lah. Balik lagi soal laki-laki. Yang juga sangat-sangat
krusial adalah pendidikan. Terus terang saja, sekolah-sekolah negeri kini
kalah pamor dengan sekolah swasta yang memang memiliki kualitas dan metode
pembelajaran yang lebih baik. Apa boleh buat, biaya pendaftaran SD yang
mencapai belasan juta dan SPP yang mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah
pun harus diusahakan dengan segala daya upaya demi masa depan Sang Buah Hati.
Apalagi? Apalagi? Berikan semua bebannya. Semua laki-laki
tak akan lari dari tanggung jawabnya, meski mungkin tak bisa membuat semuanya
sempurna. Semua laki-laki telah terlatih sejak kecil untuk menjadi pemimpin.
Dalam otaknya telah tertanam bahwa ialah pelindung. Ia tahu bahwa ia adalah penanggung
jawab. Ia bersedia melakukan apa saja untuk mereka yang dicintainya. Ia sanggup
menanggung risiko apapun, bahkan menjadi mengorbankan dirinya sekalipun untuk
memastikan anak dan istrinya dalam kondisi baik-baik saja: Aman, tenteram,
kenyang.
Ia hanya berderai air mata melihat tangan kecil anaknya
tertusuk jarum infus, ditangani oleh
dokter muda yang sedang praktikum, dengan peralatan seadanya. Ia hanya teriris
hatinya melihat anaknya tak bisa bersekolah seperti anak-anak lainnya, dengan
fasilitas yang sama, dengan metode pengajaran yang dikembangkan sekolah-sekolah
masa kini. Lelaki berusaha memberikan perawatan terbaik untuk istrinya selama
proses kehamilan dan melahirkan, sebagai ungkapan terima kasih telah mengandung
darah dagingnya. Pria selalu berusaha
memberikan yang terbaik bagi anak istrinya, meski ia tahu tak bisa membuat
semuanya sempurna.
Laki-laki selalu memiliki banyak rencana.Plan A, Plan B,
Plan C, Plan D,dan seterusnya hingga emergency strategy. Laki-laki (sejati) juga selalu
tertawa mendengar istilah Keluarga Berencana yang sampai saat ini masih
didengung-dengungkan pemerintah. Apanya yang direncanakan? Tanpa diminta
pemerintah pun, laki-laki selalu punya banyak rencana indah untuk keluarganya.
Hari ini, rencana memiliki banyak anak adalah sebuah rencana gila. Bahkan
berhubungan suami istri pun kini menjadi aktivitas “menakutkan”. Kekhawatiran
laki-laki di masa ini bukan lagi penyakit ejakulasi dini, tapi justru takut “jadi”!
Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2014
menyebutkan, dari total jumlah wanita atau ibu usia subur pengguna alat KB ,
persentasenya terus meningkat dari tahun ketahun. Bahkan pada tahun 2014 mencapai 62,50%.
Bahkan metode KB pada pria juga terus mengalami peningkatan, meski tak terlalu
signifikan karena mungkin menyangkut urusan“kejantanan”. Dalam sebuah berita yang
dirilis oleh Republika, Maret 2014 lalu, jumlah pria yang melakukan vasektomi
bahkan tiga kali lebih banyak dari yang ditargetkan oleh BKKBN Yogyakarta.
BKKBN berhasil, kita tak bisa mengenyampingkan data tersebut
di atas. Tapi apa benar keiikutsertaan
masyarakat benar-benar karena kesadaran dan implementasi dari jargon "Dua
Anak Cukup". Apa benar ini karena keberhasilan pemerintah dalam menanamkan
mindset bahwa keluarga kecil dan terencana bisa lebih menjamin keluarga
bahagia? Apa betul ini keberhasilan pemerintah lewat BKKBN dalam
menyosialisasikan penggunaan alat kontrasepsi yang benar? Kalau hanya masalah
kontrasepsi, harus diakui anak-anak muda sekarang sungguh sudah sangat canggih
dalam berimprovisasi”, bukan?
Mari memandang persoalan ini dari perspektif yang lebih
luas. Keluarga berencana bukan hanya soal dua anak cukup dan pemasangan alat
kontrasepsi yang benar. Jauh lebih besar dari itu, Program Keluarga Berencana
yang digagas pemerintah Indonesia sudah seharusnya menyentuh esensi dan hal
yang paling mendasar dalam kehidupan bernegara: Memastikan semua rakyat
Indonesia sejahtera! Karena sesungguhnya keluarga sejahtera adalah
sebaik-baiknya rencana. Selama harga rumah masih supermahal dan suku bunga KPR begitu tinggi, sekolahan
tak ubahnya seperti perusahaan yang menjadikan pendidikan sebagai bahan jualan,
biaya kesehatan edan-edanan, BBM naik, tarif dasar listrik semakin mencekik, harga sembako bikin K.O., maka sesungguhnya program keluarga berencana telah
sukses dilaksanakan.
Ada baiknya kita
lupakan saja dulu Program Keluarga Berencana. Para pria tak sempat memikirkannya karena sedang sibuk
kerja, kerja, kerja, mengerahkan segala daya upaya dan berusaha semaksimal
mungkin untuk memastikan keluarga kecilnya hidup sejahtera. Kita bicarakan lagi
nanti, saat para lelaki bisa benar-benar
menikmati hubungan suami istri.
![]() | |
|
0 comment:
Post a Comment