Transportasi dan Transformasi Budaya

Boleh jadi, masalah kebangsaan kita -termasuk transportasi- adalah masalah "human being". Ego untuk mendapat hal-hal "material" untuk diri kita sendiri.

PLN, DBL, dan Pasar Atom

Dahlan sukses di PLN karena kendali komunikasi, DBL besar (salah satunya) karena JP, Atom menang bersaing karena (salah satunya) media internal.

Rindu, Keju, dan Bokong

kenapa bagian bawah punggung kita dimakan bokong? Kenapa tidak keju? Kenapa keju tidak dinamakan bokong saja? Kenapa?.

Realita Cinta, (Pipis), dan Rock n Roll

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara cinta dan kebelet pipis. Keduanya mendesak, top number 1, dan menimbulkan efek suara yang sama: Ahhh..

Cerita Berambut

Dulu, saya benci sekali potong rambut. Selalu meras lebih pede dan "dapet gaya" dengan rambut gondrong. Demi masa, begitu cepat waktu berlalu.

Saturday, May 30, 2009

Rindu, Keju, dan Bokong


Kenapa bagian menonjol di bawah punggung kita dinamakan "bokong"? kenapa tidak dinamakaaannn..eee... "keju"?? Lalu kenapa juga keju dinamakan "keju"? kenapa nggak dinamakan "bokong"? Jadi kalo kita pesen burger bisa bilang, "Hamburger satu, mas. bokongnya dobel". Kenapa? Siapa yang memberi nama?

Banyak hal di dunia ini yang nggak saya mengerti. Termasuk kenapa saat ini saya merindukannya. Kenapa? Kenapa saya merindukannya?

Ternyata cinta juga sama rumitnya dengan persoalan bokong.

* Anyway, kenapa rindu dinamakan "rindu"? kenapa tidak "bokong"? Jadi saya bisa mengatakan padanya: "Sayang, aku membokongimu..." Ah, ternyata makin banyak hal di dunia ini yang nggak saya mengerti.

Monday, May 11, 2009

Satpam dan Penyakit Hati

Bagi sebuah perusahaan jasa, service adalah segalanya. Nggak cuma soal teknis, soal non teknis yang mungkin dianggap superduper sepele juga sangat berpengaruh terhadap citra perusahaan.

PT. Temprina Media Grafika (Jawa Pos Group) adalah salah satu perusahaan ternama di bidang percetakan. Dan saya tak habis pikir kenapa perusahaan sekelas ini tak memikirkan kenyamanan customernya.

Bicara soal teknis seperti hasil cetak, saya hampir tak pernah mengalami masalah. Tapi, saya justru sangat terganggu dengan orang-orang "tidak berkepentingan" atau "tingkat kepentingannya nggak seberapa".

Temprina mengharuskan setiap tamu yang datang dengan membawa motor untuk mematikan mesin, turun, dan menuntun motor saat melewati pos satpam. Awalnya saya merasa sedikit aneh dengan peraturan nggak lazim dan cuma dilakukan ketika kita datang ke tempat-tempat berbau militer. Tapi pikir saya, ya udah lah. Ngak perlu capek-capek mikirin kebijakan yang nggak jelas seperti ini. Sampai beberapa hari lalu, saya datang lagi ke temprina dan lupa turun plus menuntun motor ketika melewati pos satpam.

Saya cuma mematikan mesin dan mengganti tenaga mesin dengan kaki saya (tanpa turun dari motor) agar roda tetap berputar. Semua saya lakukan tanpa maksud sengaja. Mengalir begitu saja. Setelah memarkir motor, saya kembali ke pos satpam untuk lapor dan meninggalkan ID card.

Satpam : mau ketemu siapa?
Saya : Ketemu pak Dadang
Satpam : Sudah sering ke sini?
Saya : Setiap bulan, pak
Satpam : Tahu kalau lewat depan pos satpam harus turun?
Saya : Tahu pak
Satpam : Lalu tadi kenapa nggak turun?
Saya : euh.. oh saya tadi nggak turun, ya? Perasaan udah, tapi mesinnya tadi udah saya matikan, kan?
Satpam : Tetep aja mas harus turun dan dituntun!
Saya : Iya, saya lupa
Satpam : Kalau cuma mesinnya dimatikan, itu namanya nggak dituntun.. Mas yang pakai Grand hijau, kan?
Saya : Aduh.. udahlah pak! jadi saya mesti gimana? Saya harus bawa motor saya keluar lagi lalu masuk dan dituntun, atau saya harus push up? bayar denda? minta maaf? atau gimana? Waktu saya nggak banyak, saya harus ngecek proof dari temprina sebelum dicetak siang ini. Saya cetak enam sampai sepuluh ribu majalah setiap bulan. jangan sampai kerjasama saya sama Temprina rusak gara-gara kaya beginian!
Satpam : Ya udah, lain kali turun, mas!

Maksud saya, apa sih sebenernya esensi dari peraturan "harus turun?" yang diterapkan perusahaan? apa untuk memaksimalkan security checking? Apa ya tidak cukup dengan meninggalkan KTP / ID card lain di pos satpam?

Ribet banget saya harus matikan mesin, turun, menuntun motor, lalu lapor ke pos satpam dan meninggalkan identitas. Lalu melakukan ritual yang sama ketika pulang. Apalagi kalau sedang terburu-buru seperti saat itu. Turun dan menuntun motor sama sekali nggak penting, bukan?!

Apa perusahaan jasa sekelas Temprina tak pernah berpikir bahwa saya adalah customer yang harus dimanjakan karena ikut andil "memberi makan" pada karyawan perusahaan termasuk satpam-satpam itu? lho harusnya, kalau perlu mereka yang datang menghampiri saya, menuntun motor saya dan meminta ID card saya dengan manis sembari menawarkan minuman selamat datang! Bukankah begitu prinsip sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa?

Terdengar gila hormat? Halah iya dong! Harusnya memang gitu! Gila hormat mana sama nyuruh-nyuruh customer turun dan menginterogasi saya seperti maling coba?! Atau misalnya kalau mereka menegur saya dengan manis, "Pak, maaf, lain kali mungkin bisa dituntun motornya. Sekali lagi maaf atas ketidaknyamanan ini, sudah prosedur perusahaan.", mungkin saya akan lebih bisa menerima dan tak menganggapnya sebagai masalah. Sudah untung saya dateng, harusnya mereka yang menyerahkan proof ke kantor untuk saya tandatangani!

Yang juga bikin saya sebel, sepertinya yang datang pakai motor itu dianggap customer kelas dua atau cuma kurir yang nganter file. Sebab, saya nggak melihat orang-orang yang datang dengan mobil melakukan ritual yang sama dengan saya. Oke lah saya bukan yang punya duit. Tapi saya tetap utusan resmi perusahaan dan saya punya cukup power untuk bilang ke atasan untuk tidak menyetak majalah di Temprina, lho! Kepikir nggak sih sama mereka??!

Selesai urusan di kantor temprina, saya kembali ke tempat parkir. Motor tak saya nyalakan, helm dan penutup muka tak saya kenakan. Saya tuntun motor perlahan dengan penuh rasa hormat di depan pos satpam. "Begini?? sudah benarkah cara saya?? puasss???" batin saya dalam hati. Saya parkir motor beberapa meter setelah melewati pos dan bergegas mengambil ID card. Dan coba tebak, ID card saya dikembalikan dengan sedikit melempar! See??? betapa rendah pelayanan mereka terhadap customer!! Saya jelas nggak sudi mengucapkan terima kasih. thx for what??!!! Kalian yang harus berterima kasih karena perusahaan saya sudah ikut andil membesarkan Temprina!

Saya mau lapor ke marketing Temprina yang biasa menangani perusahaan saya..., males! belum tentu mereka menganggap ini penting. Saya cuma mau cerita sama direktur Temprina atau siapalah yang punya power untuk mengubah kebijakan. Tapi tentu saja bertemu mereka nggak mudah dan saya tentu dihadapkan dengan birokrasi yang justru berpotensi menambah kekesalan. Dan belum tentu dianggap penting!!

Suebel.., saya cerita ke silvi di rumahnya

Saya : Blablablabla
Silvi : halah gitu aja kok dipikirin, penyakit hati tuh. Orang yang dipikirin juga udah lupa
Saya : Hhhh... yayayaya.. (tetep mangkel!)




Perhatian! Bukan satpam sebenarnya. Yang ini punya senyuman maut dan manis serta penuh kharisma.. hahhah!

Friday, May 08, 2009

Menuju Musik yang Beradab


Yovie Widianto kembali menarik pelatuk pro kontra wajah musik Indonesia masa kini lewat pernyataannya, saat menerima penghargaan sebagai Produser Rekaman Terbaik dalam ajang AMI Award 2009, April lalu. Tapi, yang “ditembak” kini merasa sudah saatnya bicara “menang-kalah”. Dianggap tak berkualitas atau plagiat, mereka telah punya peluru lainnya untuk menyerang: fakta penjualan!


Warisan orde baru memang memberikan angin segar pada setiap aspek kehidupan di negeri ini. Termasuk kebebasan berekspresi dan mengapresiasi musik. Yang menarik, kini elit musik lebih terlihat seperti sedang berkampanye menjelang pemilu. Yang satu mengaku membawa perbaikan menuju industri musik Indonesia yang lebih berkualitas, yang satu mengklaim bahwa merekalah yang dipilih oleh rakyat musik Indonesia, yang dibuktikan lewat jumlah rekapitulasi perhitungan penjualan album.

Soal seni adalah soal hati. Soal selera. Dan tak ada yang bisa memaksakannya. Bahwa selera itu bisa dibentuk, itu benar adanya. Tapi jika harus membunuh bentuk ekspresi bermusik, bagaimana pun kualitas musik tersebut, tak bijak juga rasanya. Karena apresiasi terhadap bentuk seni, termasuk musik, sangat subjektif dan tak ada batasan riilnya.

Peran media memang berdampak sangat besar terhadap pembentukan kualitas musik Indonesia. Penjualan album Kangen Band yang menyentuh 153 ribu kopi dan ring back tone (RBT) yang konon mencapai 1 juta, atau D’Massive yang juga menuai sukses massive, tentu tak akan terjadi tanpa dukungan media. Duto Sulistiadi, General Manager Production SCTV yang melahirkan program musik seperti Inbox dan Hura-Hura, dalam wawancara yang dimuat Rollingstone jelas-jelas menyebutkan bahwa ia tak peduli dengan kualitas. Menurutnya, semakin banyak pelaku, pebisnis, dan label rekaman, semakin bagus. Tak begitu jelas maksudnya. Bagus untuknya, atau untuk Musik Indonesia.

Kemudahan mengakses media juga menjadi hal krusial untuk membentuk selera musik yang “beradab” seperti yang dimaksudkan Yovie, David Naif, atau banyak musisi berkualitas lain yang pernah secara terang-terangan menghujat Kangen Band atau band lain yang dianggap merusak kualitas musik Indonesia.

Sayangnya, belum ada data yang pernah dirilis, apakah penggemar musik tak berkualitas adalah orang-orang yang “kurang beruntung” karena tak mendapat akses media yang mumpuni untuk bisa mempunyai banyak referensi musik, yang menjadikannya “beradab” secara musikal. Tapi yang pasti, penjualan album dan RBT dalam jumlah mencengangkan, seperti Kangen Band, tentu juga terjadi di kota-kota besar dimana akses media begitu mudahnya. Dan jika sudah begitu adanya, tentu memang itulah yang dinamakan pilihan atau selera.

Label rekaman juga merupakan aktor penting dalam lakon Industri musik Indonesia. Kapasitasnya juga bisa menjadikannya sutradara yang punya hak untuk mengatur skenario. Tapi tentu saja, seperti halnya dengan media, label rekaman punya kepentingan mereka sendiri yang tak dapat dinafikan.

Masa depan Industri Musik Indonesia bergantung pada kedewasaan para pelakunya. Tak hanya dewasa dalam bermusik dan menghasilkan seni yang berkualitas, tapi juga kedewasaan untuk membiarkan masyarakat musik untuk menentukan sendiri apa yang diinginkannya, tanpa merasa ditekan oleh pelaku musik dan dalam posisi was-was dituduh ikut andil merusak kualitas musik Indonesia atau punya selera musik yang dangkal. Yang juga perlu menjadi catatan, beberapa fakta membuktikan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang sangat mudah bersimpati terhadap orang-orang yang “tertindas”. Meledaknya album dari beberapa band yang banyak dihujat mungkin juga merupakan sumbangsih dari orang-orang yang bersimpati tersebut. Apalagi grup-grup vokal atau penyanyi-penyanyi solo yang minim kualitas juga banyak berkeliaran dan tak mendapat hujatan yang setimpal karena albumnya tak meledak.

Memang tak ada yang ideal. Tapi alangkah indahnya kalau kita membiarkan proses bergulir dan mempersilahkan masyarakat untuk tumbuh dewasa secara alamiah. Musisi berkarya dengan sebaik-baiknya tanpa mengurangi kebebasan berekspresinya, label rekaman memilih merilis album dengan tanggung jawab, dan media menjalankan tugas sesuai dengan porsinya untuk menginformasikan sebanyak-banyaknya (apa pun kualitasnya). Lalu biarkan masyarakat yang menentukan sendiri seleranya.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites