Yovie Widianto kembali menarik pelatuk pro kontra wajah musik Indonesia masa kini lewat pernyataannya, saat menerima penghargaan sebagai Produser Rekaman Terbaik dalam ajang AMI Award 2009, April lalu. Tapi, yang “ditembak” kini merasa sudah saatnya bicara “menang-kalah”. Dianggap tak berkualitas atau plagiat, mereka telah punya peluru lainnya untuk menyerang: fakta penjualan!
Warisan orde baru memang memberikan angin segar pada setiap aspek kehidupan di negeri ini. Termasuk kebebasan berekspresi dan mengapresiasi musik. Yang menarik, kini elit musik lebih terlihat seperti sedang berkampanye menjelang pemilu. Yang satu mengaku membawa perbaikan menuju industri musik Indonesia yang lebih berkualitas, yang satu mengklaim bahwa merekalah yang dipilih oleh rakyat musik Indonesia, yang dibuktikan lewat jumlah rekapitulasi perhitungan penjualan album.
Soal seni adalah soal hati. Soal selera. Dan tak ada yang bisa memaksakannya. Bahwa selera itu bisa dibentuk, itu benar adanya. Tapi jika harus membunuh bentuk ekspresi bermusik, bagaimana pun kualitas musik tersebut, tak bijak juga rasanya. Karena apresiasi terhadap bentuk seni, termasuk musik, sangat subjektif dan tak ada batasan riilnya.
Peran media memang berdampak sangat besar terhadap pembentukan kualitas musik Indonesia. Penjualan album Kangen Band yang menyentuh 153 ribu kopi dan ring back tone (RBT) yang konon mencapai 1 juta, atau D’Massive yang juga menuai sukses massive, tentu tak akan terjadi tanpa dukungan media. Duto Sulistiadi, General Manager Production SCTV yang melahirkan program musik seperti Inbox dan Hura-Hura, dalam wawancara yang dimuat Rollingstone jelas-jelas menyebutkan bahwa ia tak peduli dengan kualitas. Menurutnya, semakin banyak pelaku, pebisnis, dan label rekaman, semakin bagus. Tak begitu jelas maksudnya. Bagus untuknya, atau untuk Musik Indonesia.
Kemudahan mengakses media juga menjadi hal krusial untuk membentuk selera musik yang “beradab” seperti yang dimaksudkan Yovie, David Naif, atau banyak musisi berkualitas lain yang pernah secara terang-terangan menghujat Kangen Band atau band lain yang dianggap merusak kualitas musik Indonesia.
Sayangnya, belum ada data yang pernah dirilis, apakah penggemar musik tak berkualitas adalah orang-orang yang “kurang beruntung” karena tak mendapat akses media yang mumpuni untuk bisa mempunyai banyak referensi musik, yang menjadikannya “beradab” secara musikal. Tapi yang pasti, penjualan album dan RBT dalam jumlah mencengangkan, seperti Kangen Band, tentu juga terjadi di kota-kota besar dimana akses media begitu mudahnya. Dan jika sudah begitu adanya, tentu memang itulah yang dinamakan pilihan atau selera.
Label rekaman juga merupakan aktor penting dalam lakon Industri musik Indonesia. Kapasitasnya juga bisa menjadikannya sutradara yang punya hak untuk mengatur skenario. Tapi tentu saja, seperti halnya dengan media, label rekaman punya kepentingan mereka sendiri yang tak dapat dinafikan.
Masa depan Industri Musik Indonesia bergantung pada kedewasaan para pelakunya. Tak hanya dewasa dalam bermusik dan menghasilkan seni yang berkualitas, tapi juga kedewasaan untuk membiarkan masyarakat musik untuk menentukan sendiri apa yang diinginkannya, tanpa merasa ditekan oleh pelaku musik dan dalam posisi was-was dituduh ikut andil merusak kualitas musik Indonesia atau punya selera musik yang dangkal. Yang juga perlu menjadi catatan, beberapa fakta membuktikan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang sangat mudah bersimpati terhadap orang-orang yang “tertindas”. Meledaknya album dari beberapa band yang banyak dihujat mungkin juga merupakan sumbangsih dari orang-orang yang bersimpati tersebut. Apalagi grup-grup vokal atau penyanyi-penyanyi solo yang minim kualitas juga banyak berkeliaran dan tak mendapat hujatan yang setimpal karena albumnya tak meledak.
Memang tak ada yang ideal. Tapi alangkah indahnya kalau kita membiarkan proses bergulir dan mempersilahkan masyarakat untuk tumbuh dewasa secara alamiah. Musisi berkarya dengan sebaik-baiknya tanpa mengurangi kebebasan berekspresinya, label rekaman memilih merilis album dengan tanggung jawab, dan media menjalankan tugas sesuai dengan porsinya untuk menginformasikan sebanyak-banyaknya (apa pun kualitasnya). Lalu biarkan masyarakat yang menentukan sendiri seleranya.
2 comment:
yeah, selera itu bukanlah sesuatu yang harus dipertanyakan, diperdebatkan, atau malah dikompetisikan.
kecuali selera tentang wanita.. itu jelas harus membuat kita berkompetisi... begitu bro?? hahahah
Post a Comment