Kiranya, masih jelas terekam di memori kita betapa alat komunikasi tercanggih di sekitar tahun 80’an adalah jaringan telepon fix cable, itu pun tak semua orang punya. Bagi sebagian kaum muda, “telepon rumah” tak mampu mengakomodir kebutuhan private convertation mereka. Solusinya: mengumpulkan banyak uang receh, dan pergi ke telepon umum. Risikonya: Dimarahi orang yang antri karena telepon terlalu lama.
Mau instant message? Pakai pager! Belum sempat booming, teknologi telepon nirkabel melenyapkan pager seperti tak pernah ada. Belum sempat bengkak jari ber SMS-an, semua harus cepat-cepat bergaul dengan internet yang membuat dunia seperti ada di genggaman. Semua bisa. Mulai dari sekadar mengirim dokumen, sampai urusan tetek bengek seperti cari jodoh.
Tak cukup nyaman hanya bisa diakses lewat personal computer (PC) atau notebook, internet hadir melalui telepon selular. Kini, semua bisa berselancar di dunia maya sambil meeting, sambil makan,atau sambil –maaf- buang air besar.
Tak perlu lagi langganan koran, baca saja versi online nya. Paperless dan ikut melestarikan hutan karena jumlah pohon yang dipotong dan dijadikan kertas jadi menurun. Tak perlu pasang iklan mahal, karena puluhan situs menyiapkan tempat iklan gratis dengan efektifitas yang bahkan mengalahkan iklan di media konvensional. Tak perlu kirim berkas, email saja. Tak perlu SMS, YM-an saja. Tak perlu telepon, Skype saja.
Suka tak suka, mau tak mau, perkembangan teknologi memang berpengaruh pada kehidupan kita. Yang tak punya mentalitas cair –seperti yang ditulis Presdir Globalteleshop, Bapak Djamiko Wadoyo di Kontan Weekend- pun kadang-kadang juga dipaksa cair. Kalau perlu dipanaskan, biar cair. Bagaimana tidak? Kelulusan atau pendaftaran sekolah saja sekarang diumumkan lewat website sekolah. Jadi meski tak bermental cair, orang tua sedikit banyak harus tahu internet, kecuali mau anaknya tak sekolah.
Perlahan tapi pasti, percepatan teknologi ini menggiring kita pada budaya serba instan, cepat, dan tak merepotkan. Sedikit demi sedikit, kebutuhan akan barang berteknologi tinggi menggiring mindset kita untuk hanya menggunakan parameter material guna menilai banyak hal. Yang baik adalah yang mahal. Yang bagus adalah yang berteknologi tinggi. Yang enak adalah yang cepat dan tak merepotkan. Dan itu masuk ke semua sendi kehidupan. Telekomunikasi, pendidikan, transportasi, hiburan, makanan, semua… semua.
Coba, apa hal yang langsung terlintas di pikiran kita jika harus mendefinisikan kemakmuran? BlackBerry Onyx? Mercy S Class? Apartemen? Liburan keliling dunia? Nasabah prioritas bank terkemuka? Atau minum kopi di Starbucks? Tak apa kalau itu memang yang terlintas di benak kita, karena memang itu yang menjejali pikiran kita setiap hari.
Lalu, coba lagi, image apa yang terlintas ketika kita harus menyebutkan parameter kemiskinan atau kekurangan? Makan seadanya? Rumah kontrakan? Jobless? Handphone jelek dan tak berwarna? Atau…, sepeda!
Kok sepeda? Ya, karena yang bersepeda adalah office boy, buruh pabrik, kuli, pedagang sayur, dan tenaga kasar lainnya. Pendapatan yang minim dan tak memungkinkan untuk membeli sepeda motor –apalagi mobil-, membuat saudara-saudara kita itu terpaksa naik sepeda ke tempat kerja.
CEO atau jajaran direksi naik sepeda ke kantor? Yang benar saja! Tak mungkin, unreasonable. Pernahkah kita melihat tempat parkir sepeda direktur? Tidak. Yang ada hanya aspal atau papan yang bertulis plat nomor mobil direktur.
Sebenarnya General Manager, Walikota, artis dan lainnya juga naik sepeda, tapi kalau ada perlunya. Memperingati hari tertentu, launching produk lalu mengadakan sepeda gembira, atau dalam rangka kampanye jelang Pemilukada.
Tidak bisa disalahkan juga. Ini masalah budaya. Budaya kita adalah budaya kesetaraan, budaya kepantasan. Bangsawan pantasnya menikah dengan priyayi. Aneh, saru, dan tak setara rasanya jika bangsawan menikah dengan pembantu. Suatu saat sang pembantu naik derajat, ya mantan pembantu itu tak akan menikahi orang yang derajatnya lebih rendah darinya.
CEO, General manager, bupati, walikota, artis, manager, ya pantasnya naik mobil. Staf administrasi, pegawai biasa, pedagang kelas menengah ya cocoknya naik motor. Buruh pabrik, kuli, office boy, PRT, ya cukup naik sepeda atau bemo saja lah. Ya memang begitu pakem nya, itu budaya nya.
Seperti halnya barang-barang mewah lainnya, alat transportasi juga menjadi tolok ukur kemapanan dan parameter status sosial. Jadi kadang-kadang malah lucu kalau banyak orang teriak-teriak –apalagi yang kaya- meminta pemerintah daerah atau pemerintah kota untuk menyediakan fasilitas transportasi umum yang baik. Karena, hal itu jadi terdengar seperti ini: Alat transportasi harus dibuat sebagus mungkin, infrastuktrurnya harus sesempurna mungkin, supaya orang miskin bisa menggunakan alat transportasi umum dengan nyaman, dan mengurangi kemacetan. Supaya yang kaya tetap boleh melenggang dengan nyaman di dalam mobil-mobil pribadinya. Suatu saat yang kaya jatuh miskin dan si Miskin mendadak kaya…, ya gantian lah…! Karena yang kaya “tak boleh” naik angkutan umum, berdesakan dengan “orang umum”. Orang kaya pantasnya naik mobil. Ya memang begitu pakem nya, itu budaya nya.
Tak percaya? Mari kita ambil contoh Kereta Komuter Surabaya-Sidoarjo saja sebagai sebuah contoh kecilnya. Pertama kali diluncurkan, kereta ini diharapkan akan berperan besar dalam mengurai kemacetan di banyak jalan protokol di Surabaya. Terutama Jalan A. Yani, salah satu nenek moyang jalan macet di Surabaya.
Dengan Kereta Komuter, orang Sidoarjo yang bekerja atau kuliah di Surabaya, harusnya bisa sampai di Surabaya dalam waktu sekitar 30 menit. Bandingkan dengan perjalanan dengan mobil atau sepeda motor pribadi yang mungkin akan memakan waktu dua atau tiga kali lipatnya pada jam-jam macet, saat banyak orang berangkat dan pulang kerja. Tapi apakah kemudian banyak orang beralih menggunakan kereta Komuter untuk berangkat kerja? Tak perlu dijawab dulu.
Mari lebih spesifik. Mungkin, ada puluhan, atau bahkan ratusan warga Sidoarjo yang kuliah dan atau berprofesi sebagai dosen di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Unair, bisa ditempuh dengan jalan kaki dari Stasiun Gubeng Surabaya. Kurang lebih 10 menit ke Kampus A (Fakultas Kedokteran), atau sekitar 15 menit ke Kampus B.
Jalan pedestrian dari Stasiun Gubeng ke Unair, telah dibangun dengan apik. Pejalan kaki bisa berjalan dengan nyaman di trotoar dengan banyak pohon rindang. Tanahnya telah dipaving. Luasnya cukup untuk empat orang yang jalan berjejer. PKL nya sudah digusur semua, dipindahkan dan diberi tempat khusus di antara dua lapangan di Jalan Dharmawangsa. Beres sudah tugas Pemkot Surabaya. Tak mau berjalan di bawah matahari sedang bersinar terik? Setidaknya ada tiga bemo yang siap mengantar. Cuma butuh 30 detik untuk sampai ke Kampus A. 1,5 menit kalau terhadang lampu merah.
Ditilik dari kasus ini, tak ada yang salah dari infrastruktur yang disiapkan pemerintah kota. Semua tersedia. Bahkan bukan cuma tersedia, bagus pula. Tapi kenapa mahasiswa atau dosen Unair yang tinggal di Sidoarjo tak mau menggunakan Kereta Komuter untuk datang ke kampus? Boleh jadi masalah budaya itu lah jawabnya. Dan percayalah, ada mahasiswa-mahasiswa atau dosen kaya dari Sidoarjo yang lebih suka menggunakan mobil mereka daripada naik Kereta Komuter.
Alih-alih banyak yang beralih naik Kereta Komuter, Unair malah menjadi “sasaran empuk” Secure Parking, perusahaan outsourcing di bidang perparkiran. Tentu karena banyak yang menggunakan kendaraan pribadi. Coba kalau lebih banyak yang naik sepeda, kereta, atau angkutan umum lainnya, tentu Secure Parking tak membidik Unair sebagai target pemasarannya.
Yang jadi masalah lagi, dalam perjalanannya, karena tak banyak “orang kaya” Sidoarjo yang menggunakan Kereta komuter, kesannya kereta ini seperti diperuntukkan untuk kalangan bawah. Dan akhirnya, perawatan infrastrukturnya pun jadi sedikit tak terjaga. Kalau yang naik rakyat biasa, perawatannya ya biasa saja lah. Ya memang begitu pakem nya. Begitu budaya nya.
Selain Kereta Komuter, Surabaya beberapa waktu lalu marak dengan wacana pembangunan jalur khusus sepeda. Setidaknya ada dua calon walikota yang “tiba-tiba” berjanji membangun “jalur sehat itu”. Hal itu dicetuskan dalam acara sepeda gembira, yang tentu saja saat itu banyak orang bersepeda.
Ini adalah hal yang bagus. Tak ada yang menilainya buruk. Tapi pertanyaannya, jika jalur khusus sepeda itu sudah terealisasi, maukah kita memarkir sepeda motor atau mobil kita di rumah, dan kemudian mengemudikan sepeda untuk pergi ke kantor kita atau cari restoran saat akan lunch? Jangan-jangan malah dimanfaatkan oleh PKL untuk membuka lapaknya, atau jadi parkir liar karena sepeda yang lewat ya tetap milik buruh pabrik, kuli, atau pedagang sayur yang berangkat kerja. Lebih celaka lagi kalau pembangunan jalur khusus sepeda itu memakan sebagian jalan umum. Bukan mengatasi kemacetan, malah berpotensi memperparah.
Sepanjang dan semulus apapun jalan khusus sepeda yang dibangun pemerintah kota, tak akan berarti apa-apa jika kita tak merubah mindset kita, karena semua orang tetap akan memilih menggunakan mobil pribadinya, dengan segala fasilitasnya: Dingin, nyaman, bisa ber-BBM an pula. Dan yang paling penting, budaya kepantasan tetap terjaga.
Masalah transportasi bukan semata-mata masalah infrastruktur. Tapi juga masalah budaya. Dan berbicara tentang budaya, tentu ini tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah saja. Tapi juga masyarakat…, kita!
Mengatasinya masalah transportasi tidak cukup hanya dengan pembangunan jalur khusus sepeda atau penambahan jumlah angkutan umum. Jauh lebih besar dari itu, kita membutuhkan reformasi budaya dan mengembalikan alat transportasi pada esensi sejatinya. Bukan hanya sekadar menghantarkan kita ke tempat tujuan, tapi juga mempunyai fungsi sosial yang memanusiakan penggunanya.
Kalau sudah begini, yang dulu-dulu, yang tak berteknologi, yang murah jadi terdengar indahnya. Karena kalau misal nanti naik sepeda telah membudaya, akan membudaya pula sholat shubuh berjamaah dan bangun pagi –karena harus berangkat lebih pagi dibanding ketika naik mobil atau motor-, akan membudaya pula saling menyapa ketika bertemu tetangga atau kerabat saat bersepeda.
Kalau misal nanti naik angkutan umum sudah membudaya, akan tumbuh subur pula budaya-budaya positif lainnya, seperti budaya antri dan menjaga kebersihan fasilitas umum. Akan mengemuka kembali fitrah kita sebagai makhluk sosial karena kita akan banyak bertemu orang baru di angkutan umum. Akan bertambah pula rejeki kita karena kita semakin banyak link, setelah bertemu orang-orang dari banyak background usaha.
Memang ini tak mudah. Jauh dari kata gampang. Karena ini menyangkut merubah budaya. Tapi siapa bilang tak bisa? Hanya saja, setiap revolusi membutuhkan waktu yang tak sebentar, setiap reformasi selalu meminta sikap istiqomah atau konsistensi untuk mendapatkan hasil seperti yang kita inginkan. Jadi seharusnya bisa kalau kita sepakat untuk memulainya.
Memulai apa? Mulai bangun pagi, mulai sholat shubuh jamaah di masjid dekat rumah, mulai jalan-jalan sore di komplek sekitar rumah, mulai membagi rejeki dengan abang tukang becak yang mangkal di depan kompleks, mulai memberi hari libur kepada pembantu rumah di hari minggu dan pergi sendiri ke pasar terdekat, mulai mengunjungi saudara-saudara dekat yang selama ini hanya bertemu saat lebaran, mulai apa saja lah…, memulai segala sesuatu yang bisa kembali melahirkan fitrah kita sebagai makhluk sosial. Karena boleh jadi, masalah kebangsaan kita –termasuk masalah transportasi- sebenarnya adalah masalah “human being”. Ego untuk mendapatkan hal-hal yang bersifat “material” untuk diri kita sendiri.
Meminjam istilah A’A Gym, mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil, dan mulai sekarang. Menciptakan kata-kata saya sendiri, mulai dari berpikir, lalu menulis, dan kemudian melakukannya bersama-sama Anda. Karena saya tak mungkin bersepeda sendirian ke kantor, malu dan karena bersepeda belum membudaya di sekitar saya.