Pesimisme tersebut mendapat pembenaran jika didasarkan pada data yang menyebutkan bahwa angka pertumbuhan produksi gula tebu sepuluh tahun terakhir tidak pernah lebih dari 3 persen. Keraguan pada keberhasilan program Swasembada Gula 2019 semakin menjadi-jadi ketika pada awal tahun 2016 lalu, Asosiasi Gula Indonesia (AGI) merilis data bahwa produksi gula nasional pada tahun 2015 tercatat hanya mencapai 2,49 juta ton, lebih rendah dibanding target yang ditetapkan Kementerian Pertanian (Kementan) sebesar 2,7 juta ton. Tapi apakah benar kita tidak mampu mencapai target tersebut?
Kebutuhan gula nasional saat ini diperkirakan sebesar 5,7 juta ton. Rinciannya 2,8 juta ton merupakan Gula Kristal Putih (GKP) untuk konsumsi masyarakat dan sisanya sebesar 2,9 juta ton adalah Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk industri.
Saat ini, GKP diproduksi oleh 62 pabrik gula. Dari jumlah tersebut, 50 unit merupakan milik BUMN. Sebanyak 64,5 persen pabrik gula tersebut telah berumur lebih dari 100 tahun. Kemudian, sebanyak 69,4 persen pabrik milik BUMN berkapasitas kecil atau di bawah 4.000 TCD. Ini merupakan salah satu tantangan besar bagi pemerintah dalam menyelesaikan target produksi gula sebesar 3,8 juta ton beberapa tahun ke depan. Belum lagi bermasalah lainnya yang juga membutuhkan perhatian serius, seperti keterbatasan lahan, kepastian akan ketersediaan pupuk, dll.
Untuk itu pemerintah telah menyiapkan strategi yang secara garis besar dapat dirangkum menjadi dua hal: Intensifikasi dan ekstensifikasi. Salah satu aplikasi dari strategi intensifikasi adalah melalui revitalisasi pabrik. Dalam hal ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang cukup berani yakni merekomendasi penutupan sejumlah pabrik gula milik negara yang dianggap kurang produktif.
Sekilas, kebijakan tersebut memang terdengar tidak populer dan kontroversial. Namun jika ditelaah kembali, pengurangan jumlah pabrik gula milik BUMN tersebut akan akan membuat pemerintah dapat lebih fokus dalam memperbaiki dan mengoptimalkan produksi dari pabrik yang tersisa. Langkah ini adalah sebuah keniscayaan,mengingat pemerintah akan kewalahan jika harus merevitalisasi semua pabrik gula yang ada. Jumlah pendanaan yang dibutuhkan tentu akan sangat besar. Ingat, dari 50 pabrik gula milik BUMN, hampir 70 persen diantaranya memiliki mesin dengan kapasitas kecil di bawah 4.000 TDC. Jadi, kenapa tidak fokus pada yang 30 persen? Rencananya, dengan pabrik yang tersisa nantinya, kapasitas produksinya akan digenjot hingga lebih dari 6.000 ton tebu per hari.
Strategi intensifikasi tersebut juga akan dibarengi dengan penyiapan bibit unggul tebu, dimana Ditjen Perkebunan telah ditugasi untuk “menduplikasi” program pembibitan pada tanaman pangan lainnya seperti jagung dan padi. Agustus ini, pemerintah juga merencanakan untuk mendatangkan tujuh varietas tebu unggulan dari Brazil yang selama ini dikenal sebagai produsen tebu terbaik dunia.
Yang juga memunculkan optimisme baru, upaya intensifikasi tersebut juga dibarengi dengan strategi ekstensifikasi dengan pendirian 13 pabrik gula baru dengan kapasitas giling yang besar, hingga 10.000 TDC. Pabrik tersebut nantinya juga akan dilengkapi dengan program modernisasi mesin dan peralatan.
Pabrik-pabrik gula tersebut direncanakan akan difokuskan untuk dibangun di luar Jawa. Selain dapat mengoptimalkan peluang diversifikasi industri tebu seperti peningkatan produksi listrik dari ampas tebu dan menunjang industri bioethanol, pembangunan pabrik gula di luar Jawa akan terintegrasi dengan program-program pemerintah lainnya: Pemerataan pembangunan dan penyerapan tenaga kerja yang akan berdampak baik bagi ekonomi makro Indonesia.
Tentu, kebijakan-kebijakan tersebut di atas bukannya tanpa risiko. Dibutuhkan suntikan dana yang juga tak sedikit untuk merevitalisasi pabrik pilihan yang tersisa dan mendirikan pabrik baru. Untuk revitalisasi pabrik gula, pemerintah telah berkomitmen untuk menyuntikkan dana sekitar USD 15 ribu hingga USD 20 ribu untuk setiap kenaikan kapasitas giling satu ton tebu per hari, sementara dana untuk pembangunan pabrik gula baru dengan kapasitas giling mencapai 10 ribu TCD, investasi yang akan digelontorkan akan mencapai Rp 1,5 triliun hingga Rp 2 triliun.
Jika program ini benar-benar terealisasi, tentu ini akan menjadi angin segar dan melahirkan optimisme baru bagi industri gula nasional. Tapi tentu masalah tidak hanya berhenti sampai revitalisasi dan pembangunan pabrik gula. Jika pabrik telah memiliki kapasitas produksi yang besar, bagaimana dengan kepastian bahan bakunya? Harap diingat, untuk memastikan satu pabrik gula baru dengan kapasitas 10 ribu TDC dapat melakukan aktifitas produksi secara maksimal, diperlukan sekitar 20 ribu hektar lahan untuk memasuk tebu. Jika pabrik-pabrik tersebut dibangun di luar Jawa, apakah dapat dipastikan bahwa lahan yang ada nantinya cocok dengan agroklimat tebu?
Di sinilah strategi ekstensifikasi dijalankan: penyiapan lahan baru. Dari sisi kecocokan dengan agroklimat tebu, Indonesia agaknya tak perlu terlalu khawatir dan masih layak “menyandang gelar” sebagai salah satu negara dengan tanah tersubur di dunia. Selain di Jawa, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Barat adalah beberapa diantara wilayah Indonesia yang lahannya cocok dengan agroklimat tebu.
Pemerintah mengklaim telah menyiapkan investasi sebesar Rp 5 triliun untuk membuka lahan sebesar 380 ribu hektar. Bahkan sebuah sumber menyebutkan, melalui Perhutani, pemerintah menargetkan untuk membuka lahan sebesar 500 ribu hektar. Jika terealisasi sesuai dengan rencana, pabrik gula yang akan “menikmati” program esktensifikasi akan dapat melakukan produksi dengan kapasitas 10 juta ton cane per day untuk kegiatan on farm maupun off farm dan tiga hingga lima tahun ke depan.
Yang menarik, dengan segala upaya intensifikasi dan ekstensifikasi yang dilakukan pemerintah, bukan hanya pabrik gula milik negara yang diberi tugas untuk menyukseskan target swasembada gula. 15 Pabrik gula swasta existing saat pun diwacanakan untuk diwajibkan menanam tebu.
Setelah semua strategi intensifikasi dan ekstensifikasi yang telah dipaparkan di atas, tentu mimpi semua pihak untuk mencapai swasembada gula membutuhkan sinergi dari pemerintah, BUMN, dan semua stakeholder pada industri gula, mulai dari kementerian-kementerian teknis, BUMN terkait termasuk industri perbankan, pelaku pada industri gula seperti Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI) dan Asosiasi Gula Indonesia (AGI), hingga elemen-elemen masyarakat yang concern pada pendampingan para petani tebu seperti Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Serikat Pekerja Perkebunan (SPBUN), dll.
Mungkin ini tidak mudah. Tapi dengan segala hal yang telah diupayakan di atas, kiranya peringatan Kemerdekaan Republik Indonesi yang ke-71 ini dapat menjadi momen yang baik bagi semua pihak untuk kembali bersama-sama merapatkan barisan dan fokus pada tujuan luhur bangsa: Menyejahterakan kehidupan bangsa, dimana menjamin swasembada pangan dan energi melalui revitalisasi industri gula bisa menjadi salah satu perwujudannya.