Transportasi dan Transformasi Budaya

Boleh jadi, masalah kebangsaan kita -termasuk transportasi- adalah masalah "human being". Ego untuk mendapat hal-hal "material" untuk diri kita sendiri.

PLN, DBL, dan Pasar Atom

Dahlan sukses di PLN karena kendali komunikasi, DBL besar (salah satunya) karena JP, Atom menang bersaing karena (salah satunya) media internal.

Rindu, Keju, dan Bokong

kenapa bagian bawah punggung kita dimakan bokong? Kenapa tidak keju? Kenapa keju tidak dinamakan bokong saja? Kenapa?.

Realita Cinta, (Pipis), dan Rock n Roll

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara cinta dan kebelet pipis. Keduanya mendesak, top number 1, dan menimbulkan efek suara yang sama: Ahhh..

Cerita Berambut

Dulu, saya benci sekali potong rambut. Selalu meras lebih pede dan "dapet gaya" dengan rambut gondrong. Demi masa, begitu cepat waktu berlalu.

Saturday, March 08, 2014

Antara Aku, Kau, Ibumu, dan Mbah-Mbahmu (Surat untuk Azka -1)




Kepada Muhammad Raihan Azka, anakku
.
Hari ini aku menulis surat padamu. Teknologi internet akan menyimpan surat ini hingga suatu saat kau bisa membacanya, dan tahu betapa ibu dan bapakmu sangat mencintaimu. Ini adalah surat pertama untukmu. Semoga Allah memanjangkan umurku agar bisa membuat banyak tulisan, sebagai warisan.

Hal pertama yang ingin kusampaikan padamu, aku ingin kau sedini mungkin belajar mengenai salah satu hal terpenting dalam hidupmu: Mengenal identitas dan jatidirimu. Mengapa penting? Karena semua hal buruk yang dilakukan manusia adalah karena ia tak mengenal jatidirinya. Kelak kau bisa cari tahu apa maksudku.

Awal yang paling mudah untuk mengenali jatidirimu adalah dengan mengenal aku dan ibumu, orang tuamu. Bagaimana kami bertemu? Suatu saat jika umur kami panjang, akan kupertemukan kau dengan seseorang bernama Sony Yulianto, sahabatku. Ia tahu banyak tentang aku dan ibumu. Atau kau bisa langsung bertanya pada ibumu, hanya saja jangan benar-benar percaya padanya, karena ia cenderung memutarbalikkan fakta mengenai awal hubungan kami berdua: Siapa yang mengejar dan siapa yang dikejar. Hehe, aku bercanda. Aku dan ibumu sering sekali bercanda (dan bertengkar) seperti seorang sahabat.

Aku dan ibumu adalah pasangan yang saling melengkapi. Aku penuh pertimbangan, ibumu cenderung spontan. Ibumu pintar teori-teori agama, aku lebih sering berpikir dan mencari makna. Hobiku baca, ibumu suka menjelajah gunung dan rimba. Aku cenderung diam, ibumu suka sekali bercerita. Aku juara puisi, ibumu juara lomba lari. Makanku lama, ibumu selalu tampak berselera apapun menunya. Dalam hidup kami, Ibumu menarikku ketika aku terlalu lambat. Aku menghentikannya ketika ia mulai terlalu cepat.

Aku kurus, cenderung tinggi. Tulangku cenderung kecil. Gigiku tak rapi, gigi kelinci. Kulitku sawo matang, hidungku panjang. Sementara ibumu tak tinggi, tapi tulang-tulangnya cenderung kokoh. Kulitnya putih bersih, giginya rapi. Aku merasa makin hari ia makin cantik, terutama jika kerudung panjang menutupi tubuhnya. Satu-satunya yang sama dari aku dan ibumu adalah rambut kami yang ikal, tapi aku lebih dominan. Aku tak tahu kau lebih mirip siapa, tapi agaknya tulang-tulangmu kokoh, gen dari ibumu. Darahmu Jawa-Madura, karena bapakku Jawa, ibuku asli Madura. Orang tua ibumu dua-duanya Jawa.

Ibumu. Kau pasti sepakat bahwa ia cantik.



Hidupku lebih keras dari ibumu. Mbahmu, orang tuaku, berpisah saat aku berumur sekitar 12 tahun. Cukup itu saja yang perlu kau tahu. Sejujurnya aku lebih lega melihat mereka berpisah setelah apa yang kami lalui selama bertahun-tahun. Tak perlu kau tanya mengapa dan siapa yang salah. Semua sudah kukubur tanpa pusara. Aku tetap mencintai mereka berdua, seperti aku mencintai kau dan ibumu. Hanya saja, aku memang lebih menjaga perasaan Mbah bhinek-mu (Bhinek adalah bahasa Madura, artinya wanita). Kelak, kau juga harus begitu memperlakukan ibumu.

Perpisahan itu mengajariku tentang hidup, tentang perjuangan, tentang cinta. Aku, Budhemu Ida, dan Mbah Bhinek-mu sempat berpindah-pindah rumah, termasuk rumah kontrakkan di sebuah gang sempit dengan ukuran sekitar 5 X 8 meteran dimana cuma ada satu TV cicilan 14 inchi dan dua kasur saat kami pertama menempatinya. Keadaan yang cukup berbeda setelah apa yang selama ini kami punya.

Aku tak menyalahkan keadaan, apalagi menjadi pengecut dengan lari ke hal-hal bodoh seperti narkoba, alkohol, dll kemudian bersembunyi pada dalih keluarga broken home. Aku kuat, tak tahu kenapa, padahal cobaan kami, khususnya mbah Bhinek-mu sangat berat. Itu salah satu sebabnya mengapa aku benci sekali anak-anak muda bermental lemah. Menyalah-nyalahkan dan memaksakan keadaan orang tua serta merengek-rengek minta dibelikan sepatu bermerek, laptop, handphone, komputer tablet terbaru, sepeda motor, mobil, atau memakai narkoba, mabuk, dll hanya agar terlihat keren dan diterima di lingkungan pergaulannya.

Singkat cerita, aku menikahi ibumu ketika aku berumur 30 tahun. Ibumu delapan tahun lebih muda dariku. Ibumu pekerja kantoran, aku mantan wartawan yang dengan dukungan ibumu, memutuskan membuat sebuah perusahaan kecil, masih berhubungan dengan bidang media. Aku masih ingat betul kami menghitung budgeting sangat sederhana dan tradisional untuk memulai usaha itu di trotoar depan kantor ibumu, di bawah temaram sinar kuning keemasan lampu jalanan plus background musik yang berasal dari deru mesin kendaraan. Itu sejarah. Semoga saat kau membaca ini, usaha ini sudah menjadi lebih besar, menempati tempat usaha yang jauh lebih layak dan membawa manfaat bagi lebih banyak orang.

Lewat pekerjaanku inilah aku bisa memberi nafkah untuk kau dan ibumu. Sedikit-sedikit berusaha menyenangkan mbah-mbahmu, atau paling tidak, tidak membuat mereka mengkhawatirkan keluarga kecil kita. Biaya kelahiranmu juga dari pekerjaan ini. Aku bersyukur bisa memberi yang layak -meski mungkin bukan yang terbaik- bagi kalian berdua. Salah satu kebanggaan terbesarku sebagai bapak dan suami adalah ketika aku bisa memberikan perawatan yang layak -meski bukan yang terbaik- untuk ibumu ketika mengandung dan melahirkanmu.

Aku bekerja bersama beberapa anak-anak muda, rata-rata seumuran ibumu. Mereka anak-anak muda yang hebat. Selain kau, ibumu, dan keluarga besar kita, aku berjanji untuk berusaha memberikan yang terbaik bagi mereka. Aku berhutang banyak pada mereka, meski mereka mungkin tak merasa begitu. Ada banyak cetakan hasil pekerjaan kami yang bisa kau cari di rumah, sekadar agar kau bisa membayangkan apa yang telah kami kerjakan.


Aku dan anak-anak muda hebat di kantor mungil kami
Ibumu juga wanita yang hebat. Ia bekerja, membantuku. Karena itu ia harus memerah susu untukmu setiap saat, setiap sempat, meski kadang dalam keadaan setengah terpejam dan terjaga karena lelah. Itu sebabnya sampai saat ini aku tak perlu membeli susu formula untukmu. Kau mendapat yang terbaik dari ibumu. Berterima kasihlah padanya. Temukan sebanyak-banyaknya cara untuk itu, karena kau tak akan pernah bisa membalasnya. Tidak juga aku.

Bicara soal ibumu, aku ingin sedikit cerita tentang mbahmu, orang tua ibumu. Mereka yang menjaga dan merawatmu sedari lahir. Dari rumah sakit, kau pulang ke rumah mereka, rumah sederhana yang orang-orang di dalamnya hidup bahagia. Aku belajar tentang bahagia dari mereka. Mereka berkumpul hampir setiap malam di ruang tamu, tertawa bersama, dan bercerita mengenai banyak hal. Ibumu seringkali mendominasi sesi itu. Ia selalu punya banyak cerita.

Kadang kami ngobrol di teras rumah atau di akses antara ruang tamu dan bagian dalam rumah. Akses itu jalan selebar kira-kira setengah meter, agak susah jika ada dua orang lewat berbarengan di jalan itu, karena ada beberapa lemari juga berjejer di sana. Kami sering “ngerunthel” disana. Ada adik ibumu Lia, sepupu ibumu yang tinggal di rumah itu, Bayu. Ada juga beberapa saudara yang rumahnya berdekatan dengan rumah mbahmu. Mereka hampir setiap malam berkumpul. Orang-orang di rumah ini suka sekali bercerita.

Mbah Kakungmu bekerja di rumah. Di teras rumah yang ukurannya hanya sekitar 2 x 5 meteran, ada satu mesin jahit di sana. Ia punya usaha reparasi tas. Aku pernah sedikit berwacana agar ia mau membesarkan usahanya. Aku merasa ada peluang bisnis yang belum tergarap maksimal. Menurutku ia bisa mengambil beberapa pegawai agar kapasitas produksinya bisa makin besar, sehingga omzet dan keuntungannya juga jauh meningkat.

Tapi otak bisnisku yang “kedunyan” ini agaknya tak “gathuk” dengan jiwa “nriman” dan konsep tawakkal mbah kakungmu itu. Ia lebih memilih bekerja “seadanya”, salah satunya agar setiap waktu sholat tiba, ia bisa bergegas ke mushola, tidak disibukkan dengan urusan-urusan dunia. Ia biasa jadi imam sholat di sana. Aku belajar bab baru di rumah ini: Barokah.

Jangan salah dengan kalimatku “bekerja seadanya”. Mbah kakungmu itu mampu menyekolahkan ibu dan tantemu Lia sampai sarjana. Tantemu Lia juga mendapat fasilitas yang tak kalah dari anak-anak orang kaya, meski terkadang aku merasa fasilitas-fasilitas dan kemudahan mbahmu mengabulkan permintaannya membuat tantemu itu kurang “tangguh”.

Sama seperti mbah bhinek-mu, mbah kakungmu adalah semacam “tokoh kampung” yang sering diminta untuk memimpin pengajian di kampung mereka. Seperti pembacaan yasin tahlil, tasyakuran, dll. Mbah kakungmu juga mengajar anak-anak kecil mengaji seusai maghrib di mushola dekat rumah. Sementara mbah bhinekmu mengajar ibu-ibu di rumah . Sebelum menikah dan bekerja, ibumu juga membantu mbah kakungmu, mengajar anak-anak kampung memahami huruf hija’iyah.

Selain aku dan ibumu serta mbah bhinekmu, Mbah kakung dan mbah puterimu lah orang yang paling berjasa dalam hidupmu. Mereka lebih sering menyeka dan membersihkan pipis dan e’ek-mu dibanding aku dan ibumu. Mereka menjagamu setiap hari karena aku dan ibumu harus bekerja. Kau tinggal di rumah mereka karena mbah bhinekmu sudah cukup sepuh. Sementara kami, orang tuamu, tak cukup becus mengurus segala keperluanmu.  


Kau, Mbah Kakung dan Mbah Puterimu. 

Sampai tulisan ini aku buat, kau masih tinggal disana. Aku dan ibumu masih berusaha keras menabung mengumpulkan uang muka untuk membeli sebuah rumah. Tak perlu besar, mungil saja, asal penuh cinta. Kami ingin rumah itu nanti ada di dekat rumah bhinekmu. Ia sudah cukup sepuh, kami ingin dekat dan bisa selalu menjaganya. Sementara mbah kakungmu dan mbah puterimu masih relatif muda. Umur mbah puterimu masih sekitar 45 tahun-an. Dari segi umur, masih termasuk kategori anak mbah bhinekmu. Sebagai bayanganmu, saat kutulis surat ini, umurku 32 tahun. Hanya selisih 13 tahun dari mbah puterimu, mertuaku.

Berbeda dengan suasana rumah mbah kakung dan mbah puteri dimana kau dirawat saat ini, rumahku cenderung lebih “serius”. Mbah bhinekmu, aku, dan budhemu Ida termasuk orang-orang pendiam. Kami tak banyak ngobrol. Ngobrol, tapi tak banyak. Aku lebih sering membaca dan menonton TV, budhemu Ida rajin menulis diary saat remaja, sementara mbah bhinekmu lebih sering sibuk di meja kecilnya. “Nulis-nulis”, begitu istilah yang sering dipakainya.

Selain memasak, Mbah bhinekmu memang hobi sekali menulis. Apapun ditulisnya, termasuk apa-apa saja yang akan dan telah dilakukannya. Aku juga sering sekali mendapat surat-surat kecil di meja makan, sekadar memberitahu bahwa ia pergi ke gang sebelah untuk membeli sesuatu. “Ini ada soto, makan ya, enak. Ibu ke Bu Parwo sebentar,” begitu kira-kira salah satu surat di kertas kecil yang kuingat. Rasanya aku mewarisi bakat menulis darinya. Oh ya, ia juga menulis surat untukmu. Surat pertamamu darinya adalah ketika kau belum berumur satu tahun. Hebat, bukan? Begitu sayang dan bangganya ia padamu, ia yakin kau anak yang supercerdas dan mampu membaca suratnya ketika gigimu baru berjumlah enam buah. Bukankah sekarang aku juga melakukannya? Beda, aku menulis surat ini untuk kau baca setelah kau benar-benar bisa membaca dalam arti sebenarnya dan memahami dengan baik.

Surat dari Mbah Bhinekmu untukmu, saat kau masih berumur 10 bulan.


Kau dan wanita-wanita dalam hidupku, selain ibumu. Mbah bhinek dan Budhemu
Aku dan mbah bhinekmu punya selera yang sama. Lidah kami sama-sama penyuka citarasa gurih, seperti umumnya orang-orang Madura. Kami sama-sama mudah tersinggung, juga khas orang Madura. Kami sama-sama suka membaca koran dan menonton acara-acara berita. Mbah bhinekmu sampai sekarang masih sering bertanya padaku, “Yo opo pendapatmu, le?”. Kami sering berdiskusi, tapi sekarang ia lebih sering hanya meminta pendapatku tanpa banyak “melawan”. Ia sudah cukup sepuh, analisanya sudah tak tajam.

Mbah Bhinekmu orang hebat. Ia pensiunan pegawai negeri. Ia pintar, sarjana. Menjadi sarjana di awal tahun 1970-an sama sekali bukan hal mudah dan tak semua orang bisa mendapatkannya. Beda dengan masaku, jadi sarjana sudah sangat biasa. Mudah, asal punya uang, tak perlu pintar. Buktinya aku. Aku tak pintar, tapi sarjana.

Mbah Bhinekmu juga sangat mandiri, karakternya keras tapi hatinya lembut, khas orang Madura. Aku menghormatinya. Salah satu buktinya bisa kau lihat dari caramu memanggilku dan ibumu: Abi dan Ummi. Mbah bhinekmu yang menyuruh begitu. Katanya agar suatu saat aku dan ibumu kami bisa naik haji. Agak tidak jelas relevansinya, katanya panggilan adalah doa. Tapi biarlah, asal ia bahagia, walau sejujurnya aku lebih senang kau memanggil kami bapak dan ibu. Lebih membumi rasanya.

Kau juga pasti ingin tahu tentang bapakku, yang juga mbah kakungmu. Sudah banyak orang bilang kau mirip dengan mbah kakungmu itu. Terkadang aku juga merasa begitu, terutama bentuk kepalamu dan rambutmu yang jarang di bagian belakang.

Mbah kakungmu juga pensiunan pegawai negeri. Agaknya karirnya cukup sukses. Beberapa orang bercerita, Ketika aku seumuranmu, sekitar awal tahun 1980-an, rumah kami sering didatangi tetangga yang ingin nonton televisi berwarna. Di kampung kami, hanya mbah kakungmu yang punya. Aku juga pernah melihat foto mobil terparkir di depan rumah kami. Kalau tak salah, Mitsubhisi Colt L-300. Cobalah googling jika kau ingin tahu bentuknya, karena sepertinya mobil itu mungkin sudah tidak ada di saat kau membaca surat ini.

Ia punya banyak kekurangan, tapi juga punya banyak kelebihan, sama seperti aku, ibumu, dan mbah-mbahmu lainnya. Tapi yang pasti, ia selalu berusaha memberikan terbaik bagi aku dan budhemu. Ia menjemputku dan budhemu setiap kami pulang sekolah. Ia bahkan memaksa mengantarku ke luar kota ketika aku melamar kerja, saat aku sudah dewasa. Sampai sekarang ia masih sering menanyakan kabarku, kau, dan ibumu. Juga masih sering sekali menelpon hanya sekadar menanyakan pekerjaanku, memastikan semua baik-baik saja. Minggu lalu ia masih mengantar budhemu ke dokter, dll. Perhatiannya luar biasa bahkan sampai usianya senja. Aku mencintainya, sama seperti aku mencintai kau, ibumu, mbah bhinekmu, dan mbah kakung serta mbah puteri dari ibumu.

Ia sosok yang tangguh. Badannya relatif besar, agak temperamental. Tapi seumur hidupku, ia tak pernah sekalipun memukulku. Sampai sekarang, di saat umurnya hampir 70, ia masih terlihat keren dan gagah, meski kulit yang mengeriput termakan usia memang tak bisa diedit di photoshop atau teknologi lainnya. Baju-bajunya lebih bagus dari bajuku. Jam tangannya bermerek, sepatunya bagus, jaketnya kulit, rambutnya klimis. Sampai sekarang, beberapa barangnya seperti baju, jaket, dan sandal masih suka aku “curi” darinya. Aku pinjam, tapi tak pernah kukembalikan.

Barang-barangnya adalah barang-barang terbaik di kelasnya. Ia menginap di hotel berbintang, makan di restoran mahal, pelesir di tempat-tempat bagus. Sebenarnya menurutku ia tak kaya, biasa saja. Hanya saja “tongkrongannya” memang istimewa. Ia royal, murah hati, dan ringan tangan.

Sahabat-sahabatku banyak yang “berteman” dengannya. Mereka menganggapnya bapak gaul. Di mata tetangga, mbah kakungmu adalah sosok yang disuka. Ia “kepala suku” yang menggagas acara sahur bersama di kampung. Bukan buka bersama, tapi sahur bersama. Satu kampung keluar jam 3 pagi buta untuk makan bersama, atas inisiatifnya. Anehnya semua menurut padanya, bukan karena terpaksa. Ia dihormati sekaligus disukai.

Tapi mbah kakungmu bukan sosok materialistis, ia tetap bersahaja. Ia tak canggung naik motor Star 86 miliknya, tapi juga terlihat sangat pantas di belakang kemudi mobilnya. Salah satu hal terbaik yang aku belajar darinya adalah “menjaga keseimbangan”. Kini, saat “masa-masa jayanya” telah lewat, ia tetap biasa saja. Tidak “post power syndrome”. Sekarang ia juga sudah mulai mau “kutraktir”. Beberapa tahun lalu, sangat sulit mewujudkan keinginanku untuk sedikit menunjukkan baktiku padanya. Ia sama sekali tak mau merepotkanku, sama seperti orang tua pada umumnya.

Mbah kakungmu menikah lagi. Kau punya beberapa om dan tante lainnya. Kami sering bertemu, selayaknya saudara. Sekarang, mbah kakungmu hidup bersama seorang wanita yang kami panggil Mami. Mami tak menggantikan siapa-siapa dan mendapat bagiannya sendiri di hatiku dan budhemu. Jangan tanya porsinya. Sama seperti ketika ibumu hadir dalam hidupku, ibumu tak menggantikan mbah bhinekmu. Aku tak bisa menjawab berapa prosentase cintaku pada ibumu dan berapa persen yang “tersisa” untuk mbah mbinekmu setelah dibagi dengan ibumu. Itu pertanyaan bodoh. 

Mbah kakungmu dan Masmu Izan, anak Budhemu

Kau dan Mbah Kakungmu. Rasanya memang mirip.
Azka...., apa yang kupaparkan di atas adalah identitas yang tak dapat kau ubah. Given! Kau lahir dari rahim ibumu, aku bapakmu, mereka mbah-mbahmu, ciri-ciri tubuhmu, semua adalah identitas yang melekat secara otomatis pada dirimu. Given. Tak bisa kau tolak, tak bisa kau ubah.

Setelah identitas pemberian Allah itu, ada identitas buatanku dan ibumu. Kami jadikan kau Islam. Aku adzan di telinga kananmu, iqomat di kuping kirimu. Kami beri kau nama Muhammad Raihan Azka. Raihan artinya wewangian surgawi, Azka berarti bersih atau suci. Muhammad? Aku yakin kau telah mengenal “Sang Cahaya” itu saat membaca surat ini. Kau kemudian pulang ke sebuah alamat yang juga jadi identitasmu. Kau jadi penduduk dari suatu wilayah, dan lain-lain, dan lain-lain.

Identitas yang aku dan ibumu berikan itu sifatnya sementara, temporary, dan dapat kau ubah kelak ketika kau telah mempunyai pemahaman dan kemampuan berpikir yang baik. Kelak kau bisa memilih jadi warna negara bagian bumi manapun yang kau mau. Kau bisa mengubah namamu menjadi Richardo Lewis, Dewa Biru Laut Semesta, atau apapun yang kau mau. Bahkan kau pun mungkin memilih keyakinan yang kau anggap paling benar (Semoga Allah menetapkan Iman dan Islam-mu sampai akhir hayat lewat ikhtiarku dan ibumu). Apakah identitas yang kami diberikan harus kau ubah? Tidak juga. Kau tetap bisa mempertahankan identitas yang diberikan orang tuamu itu, jika kau mau.

Penentuan identitasmu itu akan berjalan dalam jangka waktu yang sangat lama. Bahkan sampai akhir hayatmu kelak. Kau akan menentukan ungiven identity-mu sendiri. Kau akan membangun idealisme-idealismemu sendiri. Kau akan menentukan benar dan salah menurut pemahaman yang kau yakini. Tugasku dan ibumu adalah mendorong agar kau jadi sosok IDEALIS, BERANI MEMILIH dan mempunyai REASON atas identitas yang kau pilih. Kau harus idealis. Orang-orang yang tak idealis adalah orang-orang pengecut yang pilih aman, atau memang tak terlalu pintar karena tak mau belajar. Kau harus jadi anak pintar.

Kau tak boleh jadi anak alay yang tak punya idealisme dan tak paham identitasmu sendiri. Yang memotong rambutmu model spikey, penuh tato dan atribut-atribut punk agar terlihat keren tapi sama sekali tak punya pemahaman tentang kapitalisme yang menginjak kaum marjinal. Kau boleh memanjangkan jenggotmu, berjubah, dan melinting celanamu semata kaki, sepanjang dapat memberikan REASON mengapa kau melakukannya. Kau harus tahu siapa dirimu. Kau harus tahu kapan hanyut dan kapan melawan arus.

Untuk memiliki reason atas sebuah identitas atau idealisme, kau harus belajar. “Bacalah”, berpikirlah... Proses belajar itu lah yang kemudian membuatmu jadi dewasa, mengerti dan bertanggung jawab atas pilihanmu. Proses belajar juga akan membuatmu menghargai pilihan dan identitas orang lain. Kau akan paham bahwa pilihan idealisme seseorang juga memerlukan proses pemikiran dan memiliki reason (kecuali mereka yang tidak melakukannya). Kau juga akan mengerti bahwa orang-orang yang tidak dapat menghargai idealisme dan identitas orang lain adalah orang-orang alay yang tak pernah belajar identitasnya sendiri.

Azka, surat ini adalah salah satu ikhtiarku untuk mendidikmu. Membuatmu menjadi sosok tangguh. Mendidikmu adalah kewajibanku. Aku tak akan bosan-bosan membuat tulisan-tulisan untukmu, kau jangan bosan-bosan membaca tulisan-tulisanku. Aku masih punya banyak cerita untukmu.

Cukuplah surat pertama ini, semoga kau menikmati “metode pembelajaran” yang kupilih. Selamat ulang tahun, anakku. Aku tak punya kado apa-apa untukmu, hanya tulisan dan video pendek sebagai kenang-kenangan. Pesanku, yang akan aku ulang setiap kali aku menulis surat untukmu: Kelak jika aku dan ibumu telah meninggalkanmu, aku minta kau melakukan tiga hal: Doakan kami di setiap sholatmu, doakan kami di setiap sholatmu, dan doakan kami di setiap sholatmu. Kami akan teramat sangat butuh itu. Itu wasiatku.




Surabaya, 8 Maret 2014
(Dua hari sebelum ulang tahun pertamamu)
Aku yang menyayangimu,
Bapak alias Abi.





    

    

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites